SALAT MALAM DAN KEBERKAHAN HIDUP
Oleh : Muhammad Sholeh Hasan (Pengasuh Asrama Putra / Ma’had Syaikh Abdul Karim / Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Perbedaan antara Qiyamu al-Lail dan Qiyamu Ramadhan
Dua istilah ini terdapat dalam kitab Fiqh al-Sunah. Qiyamu al-Lail ditujukan untuk makna salat Tahajjud dan Qiyamu Ramadhan ditujukan untuk makna salat Taraweh. Akan tetapi dalam kitab fathu al-Mu’in istilah yang digunakan untuk Qiyamu al-Lail ialah salat Tahajjud, adapun untuk Qiyamu Ramadhan langsung menggunakan kata salat Taraweh. Dinamakan salat Taraweh karena setiap dua rakaat diakhiri dengan membaca salam. Setelah itu orang-orang yang melaksanakan salat beristirahat karena mereka lama berdiri pada rakaat pertama dan kedua[1]. Perbedaan lain Qiyamu Ramadhan hanya ada di dalam bulan Ramadhan dan Qiyamu al-Lail selalu ada kapan saja baik di dalam bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan.
Keutamaan Qiyamu al-Lail atau salat Tahajjud.
Berdasarkan al-Quran
وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةٗ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبۡعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامٗا مَّحۡمُودٗا ٧٩
Dan pada sebahagian malam bangun dan bertahajudlah kamu dengannya (al-Quran), sebagai ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. Al-Isra, 79.
- Tahajjud adalah salat malam yang dilakukan setelah tidur.
- Kalau belum tidur dinamai salat malam saja atau Salat al-Lail.
- Manfaat salat di malam hari akan dirasa lebih khusyu dan lebih berkesan.
- Kata ‘Asa yang dihubungkan dengan Allah swt menunjukan sebuah kepastian.
- Maqam terpuji bisa jadi didapat di Dunia dengan catatan orang tersebut dapat memberikan banyak manfaat dan ketenangan dalam hidup bermasyarakat.
- Salat Tahajjud ini wajib untuk nabi saw dan sunah untuk umatnya.
- Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan/Muhsinin sehingga berbuat muhsin bagaikan bawaan sejak lahir atau sudah menjadi darah daging.
- Perbedaan adil dengan ihsan. Kalau adil memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada anda. Kalau ihsan memperlakukan orang lain lebih dari perlakuannya terhadap anda.
- Keistimewaan mereka di dunia karena sedikit sekali tidur di waktu malam untuk salat malam.
- Kebanyakan dari waktu malam digunakan untuk merenung, belajar mengajar, dan bentuk ibadah lainnya.
- Meskipun demikian di akhir malam mereka senantiasa beristigfar, memohonkan ampunan Allah swt. Al-Dzariyat, 15 – 18.
- Mereka yang apabila diperingatkan oleh siapapun dan kapanpun dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud[2] seraya bertasbih dan memuji tuhanya.
- Mereka tidak sombong sebagaimana orang-orang kafir.
- Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya[3].
- Mereka selalu berdoa kepada tuhannya dengan penuh rasa takut kalau ibadahnya tidak diterima dan berharap kehidupannya di Dunia penuh keberkahan, kemudahan, kesehatan, kecukupan, putra-putrinya maju dan menjadi berguna untuk orang lain .
- Mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan.
- Beribadah secara tekun, hati yang tunduk dan tulus ikhlas di malam hari dengan ruku’ dan sujud.
- Takut terhadap siksa akhirat. Rasa takut ini akan membuat orang selalu waspada dalam hidupnya. Akan tetapi tidak putus harapan dan terlalu yakin. Karena putus harapan mengundang rasa apatis, sementara terlalu yakin akan mengabaikan persiapan. Seseorang seharusnya selalu waspada sehingga akan selalu meningkatkan ketakwaan, tidak pernah kehilangan optimisme dan selalu berbaik sangka terhadap Allah swt.
- Mengharapakan rahmat Allah swt. Makna rahmat ini sangat luas, mencakup rahmat Dunia dan Akhirat. Untuk rahmat Dunia diantaranya keberhasilan anak dalam belajar, dalam menjalani hidup dan siap menjadi generasi yang berkualitas terhadap bangsa ini. Contoh yang paling sederhana adalah siap menjadi santri berkualitas dengan memiliki kemampuan membaca al-Quran dengan tajwid dan makharij yang benar serta ‘Alim dalam bidang kitab kuning.
- Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir. Suria : Dar al-Fikr, 1991 M.
- M. ‘Aly al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir. Libanon : Dar al-Qalam, 1987 M.
- M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati, 2009 M.
- Sayyid Sabik, Fiqh al-Sunnah. Cairo : al-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 1997 M.
- Zainuddin al-Malebari, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurratu al-‘Ain (edisi terjemah Drs. H. Aly As’ad), Kudus : Menara kudus, 1980 M.
- Muhammad al-Ghazzali, Haza Dinuna.. Suria : Dar al-Qalam, 1989 M.
- --------, Kaifa Nafhamu al-Islam. Iskandariyah : Dar al-Dakwah, 1991 M.