Perjalanan Hidup: Kegagalan Membuatku Mengenal Tuhanku
Oleh: Nilna Milchatina (Mudabbiroh Mabna Syarifah Muda'im)
Gerah, panas, dan pengap, sangat membuat tidak nyaman, tapi itulah yang membuatku bangun dari tidurku. Pukul 03.00 WIB segera ku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk segera mandi dan mengambil air wudhu yang menjadi rutinitasku setiap hari ketika di pesantren. Mungkin menurut teman sebayaku, hal itu aneh dilakukan untuk Santri kelas enam atau kelas tiga aliyah, karena yang biasanya melakukan itu adalah anak kelas 1 MTs. Namun tidak sama sekali bagiku, aku sangat menikmatinya karena dengan itulah aku bisa segera mencurahkan isi hatiku pada Tuhan melalui sholatku. Ya, aku termasuk individu yang ambisius. Semua hal yang memang menjadi tujuanku harus aku dapatkan, walaupun berat tapi aku sangat menikmati prosesnya. Disetiap belajar, doa, dan ikhtiarku hanya aku tujukan pada ambisiku untuk menjadi seorang dokter. Hari demi hari pun terlewati sampai akhirnya datanglah hari-hari yang aku tunggu dimana aku harus mendaftarkan pendidikanku ke tingkat universitas. Persepsiku tentang universitas yaitu tempat dimana aku bisa memperoleh nasib yang baik untuk masa depanku, karena anggapanku saat itu salah satu parameter kesuksesan melalui pendidkan di universitas, apalagi dengan jurusan yang sangat didamba-dambakan dan sangat menjajikan prospek kerjanya.
Dokter, ya satu kata itulah yang selalu terngiang dalam hatiku. Keinginanku menjadi seorang dokter didasari oleh beberapa sebab. Dulu aku ingin menjadi dokter karena banyak sekali kasus orang meninggal gara-gara minimnya tenaga medis yang menangani. Khususnya masalah persalinan. Karena setelah di lansir, dokter spesialis ginekolog yang ada di kabupaten yang aku tempati hanya 3 orang (2 dokter pria dan 1 dokter wanita). Selain itu minimnya biaya, melesatnya pertambahan penduduk juga menjadi alasan adanya masalah tersebut. Melihat fakta dilapangan, keinginan menjadi dokter semakin kuat dan semangatkupun semakin membara. Apalagi keluarga, sahabat, dan masyarakat sangat mendukung niat baikku. Dan Alhamdulillah keadaan finansial keluargaku juga mumpuni jika aku melanjutkan sekolah kedokteran dengan biaya sendiri.
Aku mendaftarkan pendidikanku di universitas melalui jalur undangan SNMPTN. Program Studi yang aku pilih tentu yang berbau kedokteran. Ya semua jalur umum, kedokteran aku tempatkan pada urutan yang nomor satu, sedangkan yang kedua dan ketiga aku asal mengisi saja sebagai formalitas. Karena menurut guruku, sistematika penyeleksian hanya dilihat pada pilihan nomor satu. Di hari-hariku menunggu pengumuman, aku isi dengan kesibukan persiapan ujian pesantren seperti latihan membaca kitab kuning, mengajar, baca Qur’an, dan lain-lain. Pada waktu itu juga tak henti-hentinya aku berdoa kepada Allah supaya aku masuk ke sekolah kedokteran. Saking ambisisusnya aku, doa itulah yang terus menerus aku lantunkan setiap aku bermunajat kepada-Nya hingga aku lupa doa yang harusnya aku juga pinta kepadanya, yaitu” Ya Allah berikan yang terbaik karena Engkaulah yang lebih tahu mana yang aku butuhkan dan yang aku inginkan”.
Hari pengumuman penerimaan jalur SNMPTN tiba, dan Alhamdulillah aku diterima, ya aku diterima. Namun aku diterima bukan di jurusan yang benar-benar aku inginkan dan aku dambakan, aku ditolak masuk jurusan kedokteran dan aku diterima di jurusan biologi. Hatiku hancur ketika melihatnya, rasa kecewa pun muncul seketika itu, air mataku meleleh. Padahal dari 76 orang yang daftar jalur SNMPTN hanya 7 orang yang diterima, salah satunya aku, begitu mahalnya kesempatan itu. Ketika orang lain menangis karena tidak diterima dan mengiri pada orang yang diterima, ketika orang yang diterima sangat senang karena tercapai keinginanya, ketika banyak orang yang memberi selamat kepadaku atas diterimanya aku, hal yang aku lakukan justru menangis sekencang-kencangnya. Aku merasa Allah tidak adil padaku, tidak menghargai perjuangan yang selama ini aku lakukan, tidak mendengar doa yang tiada henti kupanjatkan. Yang ada dalam hati hanya perasaan marah dan kesal terhadap takdir yang sudah dibuatnya. Astaghfirullahaladzim.. Seburuk itu aku pada waktu itu.
Kesempatan demi kesempatan yang bisa aku lakukan untuk menjadi mahasiswa kedokteran terus berlanjut hingga aku mendaftarkan diriku pada jalur SBMPTN dan PBSB. Jalur SBMPTN aku tidak diterima karena tanggal mainnya bersamaan dengan daftar ulang di Jurusan Biologi dimana aku dinyatakan di terima di jurusan tersebut. Di jalur PBSB akupun ditolak karena mungkin kriteria yang diinginkan oleh jalur tersebut aku belum mencukupinya. Ketika yang lain masih sibuk mendaftar ke Universitas karena mereka masih belum jelas dimana dan jurusan apa yang mereka akan tempuh di waktu yang akan datang, aku dengan beruntungya sudah diterima dan sudah mendapatkan domisili tetap walau jurusanya benar-benar di jurusan yang tidak aku inginkan sama sekali.
Waktupun berlalu, aku sudah sedikit bisa melupakan ambisiku yang begitu besar untuk masuk di Jurusan Kedokteran. Hal itu mungkin karena aku melihat teman-temanku yang masih luntang-lantung berjuang untuk diterima di PTN dengan jurusan apapun, karena hal yang terpenting yang ingin mereka capai yaitu ,”yang penting di terima dulu, jurusan apapun tidak masalah”. Sejak saat itu timbul rasa syukurku atas ni’mat yang diberikan Allah untukku, yang bisa masuk PTN dengan jalur yang paling awal dan tanpa tes sehingga biaya yang dikeluarkanpun tidak begitu banyak. Namun aku masih ada niatan mendaftar di jalur terakhir, yaitu jalur SPMB mandiri, yang mana masuk jalur tersebut selain memeras otak juga biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Salutnya lagi, keluargaku sangat mendukung usahaku untuk meraih cita-citaku. Hingga tak henti-hentinya dia sholat hajat yang di khususkan untuk aku supaya bisa masuk jurusan kedokteran.
Rencana daftar SPMB mandiri di PTN yang aku tuju pun batal, karena sesuatu tiba-tiba datang dan sangat membuatku bahagia di momen itu. Rasanya seperti disambar petir. Kaget dan rasa senang yang tidak bisa di deskrepsikan dengan kata-kata, harapan yang sebelumnya mulai hilang kini tinggi membuncah kembali, rasanya hal yang paling paling membahagiakan dalam hidupku terjadi di saat momen itu. Ya, kakak sepupuku datang, dia adalah seorang pengacara dan bagian administrasi penerimaan mahasiswa di suatu PTN yang favorit khususnya di bidang kedokteran dan bergengsi di wilayahku. Dia datang menawarkan sebuah jaminan diterimanya aku sebagai mahasiswa kedokteran tanpa harus tes, orang menyebut jalur ini dengan sebutan jalur dalam karena sistemnya memakai orang dalam untuk meluluskanya. Namun tidak semudah itu, hal yang harus dilakukan orang tuaku yakni menyiapkan uang sebesar 5 Juta rupiah sebagai DP dan 500 juta jika aku sudah dinyatakan diterima. Salutnya lagi, walau jumlahnya sangat fantastis, namun orang tuaku lebih semangat dan tanpa pikir panjang, beliaupun mengiyakan tawaran tersebut. Di raut wajah mereka terlukis sebuah kebahagiaan bisa merealisasikan cita-cita anaknya. Begitu juga nenekku yang sangat mendukung sekali, dukungan beliau tidak hanya berupa dukungan batin, namun dari segi finansialpun beliau rela mengeluarkan berapapun yang ia punya, asalkan keingininanku bisa terwujud. Subhanallah.. Terimakasih Ya Allah sudah kau karuniakan kepadaku keluarga yang luar biasa.
Setelah perjanjian di setujui, tibalah dimana aku harus mengikuti tes masuk kedokteran. Tes tersebut hanya sebagai formalitas karena PTN tersebut memang mengharuskannya. Ketika aku dan ayahku berangkat ke tempat dimana aku harus tes, disana aku disambut oleh kakak sepupuku. Aku diantar ke gedung tempat tes, dan yang paling spesial yaitu aku diperlihatkan gedung Fakultas Kedokteran yang menurutku itu sangat bagus. Yang masuk di fakultas itu katanya hanya anak yang sangat pintar dan anak konglomerat, karena disana memang biaya kuliahnya sangat besar. Namun prospek kerja lulusan PTN tersebut sangat digandrungi oleh masyarakat dan dunia kerja. Tidak hanya itu, kakak sepupuku pun sudah mencarikanku tempat tinggal selama aku kuliah di PTN tersebut, berkas-berkas persyaratan pun sudah mulai kulengkapi karena ada berkas khusus untuk jalur ini yang sangat rumit. Namun semua perjalanan tersebut sangat aku nikmati. Tak henti-hentinya ku bermunajat pada Allah supaya mengabulkan keinginanku. Di hari-hari itu rasanya sangat senang, bahkan aku sudah tidak memikirkan lagi jurusan dan Universitas yang sudah menerimaku. Rasa deg-degan pun muncul setiap waktu. Karena walaupun memakai orang dalam, pengumuman kelulusan tetap secara formal.
Tibalah aku di suatu hari yang mana nasibku untuk menjadi dokter akan terealisasi atau malah sebaliknya. Rasanya takut, seneng, grogi, pokoknya campur aduk. Dan mau tidak mau aku harus siap melihatnya. Aku mengeceknya di Web yang sudah disediakan PTN tersebut. Aku membukanya bersama ayah dan ibuku. Mereka juga turut was-was dan berdebar. Saatnya aku klik kode dan pasword. Dan hasilnya adalah aku dinyatakan TIDAK LULUS. Sekian kali dua kata itu menghampiriku lagi. Semula wajahku yang sumringah, bibirku yang tak luput dari lantunan doa, hati yang selalu optimis pun luntur seketika. Smartphone yang aku pegang, aku lempar dengan durasi waktu yang begitu singkat, hatiku hancur, air mataku tak hentinya menetes, rasanya hidupku begitu membosankan, selalu tidak beruntung. Rasanya Allah tidak adil padaku, usaha yang aku lakukan semua itu sia-sia, doa yang setiap hari aku panjatkan semua tak ada gunanya, ingin marah semarah-marahnya dengan keadaan ini. Mengapa keadaan ini terjadi padaku. Aku sama sekali lupa akan begitu banyak ni’mat Allah selama ini yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Yang aku ingat hanya ketidakadilan semua ini.
BERSAMBUNG ...