MA’HAD : Wujud Pluralisme dalam Membangun Common Society
Oleh : Ahmad Zaki Muntafi ( 11140440000043 / Mudabbir Ma'had / Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum)
Indonesia merupakan negara yang beragam dengan segala kultur yang ada di dalamnya. Termasuk kehidupan yang plural, di mana suatu kehidupan yang terdiri atas berbagai macam perbedaan, tetapi tetap harmonis (Qomar, 2012). Keberagaman yang ada menjadikan spirit dalam membangun kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Bahkan, menurut Robert W. Hefner, sebagaimana disebutkan dalam bukunya John Bresnan (ed.) “Indonesia: The Great Transition”, menyebut Indonesia sebagai negara “pluralist endowments.” (Bresnan ed., 2005).
Dalam lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam juga mencerminkan keberagaman di dalamnya, dengan segala perbedaan yang menjadi simbol. Dalam hal ini, Ma’had merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tersebut. Ma’had merupakan lembaga pendidikan Islam bagi mahasiswa di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN), di mana dianggap sebagai simbolisasi kehidupan pesantren yang bertujuan untuk menciptakan khazanah keislaman dunia kampus. Salah satu wacana Ma’had di lingkungan PTKIN dipelopori oleh Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. ketika beliau masih menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Kini Prof. Dr. Dede Rosyada M.A. menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ma’had memiliki wacana keislaman yang baik dengan basis pendidikan Islam. Segala bentuk pluralisme menjadikan interaksi di dalam Ma’had berjalan dengan irama yang khas, karena antar personal memiliki kebudayaan yang berbeda, sehingga menjadikan ketertarikan untuk mewujudkan sebuah interaksi antar personal. Berkaitan dengan praktik ibadah keagamaan, sejatinya antar personal juga memiliki perbedaan, meskipun hal itu tidak terlalu dalam kadar yang besar. Sebagai contoh, Ma’had UIN Jakarta terdiri dari mahasantri dari berbagai daerah di Indonesia dengan basis pengamalan keagamaan yang berbeda pula. Ditambah lagi, terdapat mahasantri internasional yang cenderung berbeda mazhab dengan mayoritas mahasantri Indonesia. Maka, hal itu menjadikan bukti adanya “pluralisme agama” dengan corak perbedaan pengamalan dalam ajaran agama. Namun, hal itu justru semakin menambah rasa toleransi untuk saling menghargai, demi tercapainya common society di lingkungan Ma’had.
Mengenai pluralisme, menurut Thomas Banchoff, sebagaimana dikutip oleh Sumanto Al-Qurtuby (2016), dalam konteks teologi, pluralisme mengandung makna harmoni, konvergensi, dan kompabilitas lintas tradisi agama, sehingga dari perspektif teologi “pluralisme agama” merupakan lawan dari “ekslusivisme agama”. Bahkan, menurut Adian Husaini (2012), makna pluralisme agama adalah tidak mengakui semua agama benar, tetapi saling memberikan ruang yang sama terhadap agama atau aliran agar tetap berkembang di masyarakat. Hal ini menjadikan bentuk budaya dan agama harus diperlakukan sama dalam ruang publik.
Selain itu, penjelasan yang lebih rinci tentang pluralisme disampaikan oleh Diana Eck, sebagaimana dikutip oleh Sumanto Al-Qurtuby (2016), menurut Diana Ekc, pluralisme yang memimpin pluralism project berbeda dengan plurality atau diversity (keberagaman). Diversity dijelaskan oleh Diana Eck sebagai pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya, atau dengan istilah santri disebut sebagai sunnatullah. Sedangkan, pluralisme dijelaskan oleh Diana Eck sebagai sebuah proses pergumulan, yang bertujuan menciptakan sebuah “masyarakat bersama” atau common society.
Dalam hal ini, pluralitas (kemajemukan) merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given). Sementara, pluralisme merupakan sebuah “prestasi” (achievement) bersama dari kelompok budaya dan agama yang berbeda untuk menciptakan common society. Kunci utama dalam memahami pluralisme adalah pergumulan kreatif-intensif terhadap fakta pluralitas atau dalam istilah Thomas Banchoff disebut sebagai “peaceful interaction” (Al-Qurtuby, 2016).
Pluralitas yang ada di dalam Ma’had juga merupakan jalan untuk dapat menciptakan pluralisme dalam rangka membangun dan mewujudkan common society antar mahasantri. Hal itu dikarenakan, Ma’had merupakan basis pesantren yang memiliki kekuatan civil society yang berwatak pluralis dan toleran. Oleh sebab itu, wacana yang dimiliki Ma’had mampu menjadi katalisator dalam mewujudkan proses re-intelektualisasi untuk menciptakan cendekiawan muslim yang pluralis dan toleran.
Pustaka Acuan
Al-Qurtuby, Sumanto. Dialog Agama dan Peradaban. Semarang: eLSA Press. 2016
Bresnan, John (ed.). Indonesia: The Great Transition. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers. 2005
Husaini, Adian. Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2012
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Nusantara. Bandung: Mizan. 2012