Ma’had Al-Jamiah UIN Jakarta: Dari Asrama Sederhana Menjadi Pesantren Kampus Bergengsi
Jejak Awal: Dari Asrama ke Pesantren Kampus
Di balik hiruk pikuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berdiri sebuah lembaga yang menjadi denyut spiritual kampus: Ma’had Al-Jamiah. Sejarahnya berawal dari asrama mahasiswa biasa. Pada masa itu, asrama sekadar tempat singgah—tempat tidur setelah kuliah, tempat berkumpul antar teman. Namun, di ruang-ruang sederhana itu, benih pembinaan rohani dan kajian kitab mulai tumbuh.
Perubahan besar datang setelah IAIN resmi bertransformasi menjadi UIN pada 20 Mei 2002. Transformasi ini bukan hanya perubahan nama, tetapi juga perubahan visi: integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Bersamaan dengan itu, muncul gagasan besar: bagaimana menjadikan asrama bukan sekadar tempat tinggal, melainkan pusat pembinaan keilmuan dan akhlak?
Babak Baru: Peresmian 17 Juni 2011
Hari itu, 17 Juni 2011, menjadi tonggak sejarah. UIN Jakarta meresmikan Ma’had Al-Jamiah sebagai lembaga resmi pembinaan mahasiswa. Tak lagi sekadar “asrama,” ia menjelma sebagai pesantren kampus modern yang menggabungkan tradisi pesantren klasik dengan semangat akademik perguruan tinggi.
Pada tahun-tahun awal, tercatat ratusan mahasiswa—sekitar 210 mahasantri—mengisi gedung-gedung Ma’had. Mereka tidak hanya belajar di ruang kuliah, tetapi juga hidup dalam atmosfer pesantren: shalat berjamaah, kajian kitab kuning, hafalan Al-Qur’an, hingga latihan pidato agama.
“Ma’had adalah jantung ruhani kampus. Di sinilah mahasiswa tidak hanya pintar, tapi juga berkarakter,” ujar salah satu pengasuh senior kala itu.
Konsolidasi dan Payung Hukum
Sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT), Ma’had memperoleh legitimasi dalam struktur organisasi UIN. Payung hukumnya mengacu pada Peraturan Menteri Agama No. 6 Tahun 2013, yang menegaskan keberadaan UPT di lingkungan UIN. Dengan status ini, Ma’had memiliki kewenangan untuk merancang kurikulum pembinaan sendiri, lengkap dengan struktur pengasuh, dosen, dan pengelola mabna.
Revolusi 2016: Dari Asrama ke Mabna
Tahun 2016 dikenang sebagai masa konsolidasi besar. Istilah “asrama” resmi diganti menjadi mabna, sebuah kata yang lebih sarat makna: gedung yang bukan hanya hunian, tetapi juga pusat ilmu dan akhlak.
Sejak itu, setiap malam di semua mabna, mahasantri mengikuti kurikulum pembinaan terstruktur:
- Kajian kitab klasik (aqidah, fiqh, tafsir, hadis).
- Tahfizh dan pembiasaan ibadah sunnah.
- Penguatan bahasa Arab dan Inggris.
- Muhadharah (latihan ceramah) dan public speaking.
Atmosfer malam di Ma’had pun berubah: dari sekadar riuh rendah mahasiswa, menjadi harmoni dzikir, tilawah, dan diskusi intelektual.
Mabna-Mabna: Simbol Identitas
Setiap mabna diberi nama tokoh besar Islam, seolah ingin menyalurkan semangat para ulama ke dalam dinding asrama:
- Mabna Syekh Nawawi – menghormati ulama besar Banten.
- Mabna Syekh Abdul Karim – beroperasi sejak 2003, melanjutkan jejak ulama pendidik.
- Mabna Sultan Hasanuddin – melambangkan semangat kepahlawanan.
- Mabna Syarifah Mudaim, Syarifah Khadijah, dan Syarifah Fatimah – mabna putri yang menyerap teladan perempuan salehah dan berilmu.
Setiap mabna dipimpin oleh pengasuh, umumnya dosen UIN, yang tak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mendampingi kehidupan sehari-hari santri.
Ruh Ma’had di Era Kontemporer
Hari ini, Ma’had Al-Jamiah menjadi ikon UIN Jakarta. Ia dikenal bukan hanya sebagai asrama kampus, tetapi sebagai miniatur pesantren modern yang hidup berdampingan dengan dunia akademik.
Di sinilah mahasantri belajar menyatukan ilmu, iman, dan amal. Mereka ditempa menjadi generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga kuat dalam spiritualitas dan mantap dalam akhlak.
“Kampus memberi ilmu, Ma’had memberi ruhnya,” ungkap seorang alumni yang kini menjadi pendakwah muda.
Menyongsong Masa Depan
Sejarah Ma’had adalah cerita tentang keberanian bertransformasi. Dari asrama sederhana, ia tumbuh menjadi pesantren kampus yang berwibawa. Tantangannya kini adalah bagaimana menjaga relevansi di tengah era digital: memperkuat kurikulum, memperluas kapasitas, hingga membuka ruang kolaborasi internasional.
Satu hal yang pasti: selama UIN Jakarta berdiri, Ma’had Al-Jamiah akan tetap menjadi ruang suci tempat ilmu dan iman bertemu, membentuk insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter mulia. (IM)