Interpretasi Bab Makrifatullah Kitab al-Hikam Ibn 'Athâ’illâh
Oleh : KHAIRUL IHSAN (Mahasantri Mabna Syekh Abdul Karim)
DALAM kajiannya yang berbicara tentang Makrifatullah Ibn 'Athâ’illâh memberikan sebuah jabaran yang dapat dipahami dari gambaran inti mengenai keberadaan, penampakan, dan pengejawantahan Tuhan, yang kesemuanya itu dia muatkan dalam karyanya yang puitis yaitu kitab al-Hikam.
Al-Hikam memuat pada Hikmah ke-16 Ibn 'Athâ’illâh Itu dapat diketahui bahwa secara hakikat keberadaannya, Tuhan telah ada atau telah Tampak (azh-Zhâhir) sebelum adanya sesuatu (alam) dan segala sesuatu itu mulanya merupakan kegelapan atau ketiadaan. Selanjutnya, Allah menampakkan alam sehingga alam ada dan tampak (kelihatan).[9] Jadi, secara ontologis hubungan antara Tuhan dan alam adalah hubungan antara yang menampakkan dan yang ditampakkan. Tuhan adalah Yang Menampakkan dan alam adalah yang ditampakkan (dari ketiadaan). Oleh karena Allah yang menampakkan, maka Allah bersifat Yang Menampakkan (azh-Zhâhir) dan alam bersifat yang ditampakkan (al-mazhhûr). Namun, Tuhan bukan saja yang telah tampak sebelum adanya sesuatu (alam) dan yang menampakkan segala sesuatu (alam), tetapi Allah juga yang tampak pada segala sesuatu dan yang tampak di dalam segala sesuatu (yang tiada wujudnya). Oleh sebab Tuhan yang menampakkan segala sesuatu, yang tampak pada segala sesuatu dan yang tampak di dalam segala sesuatu (yang tiada wujudnya), maka Dialah yang lebih tampak jelas dari segala sesuatu itu sendiri. Bahkan, tiada sesuatu pun di sisi-Nya; tiada sesuatu pun selain-Nya. Tuhan adalah satu-satunya wujud Yang Sebenarnya dan alam bukanlah wujud yang sebenarnya. Dia (alam) kelihatan ada hanya dikarenakan penampakan-Nya atau disebabkan Dia menampakkan Cahaya-Nya pada dan di dalam alam. Dengan demikian, alam adalah penampakan-Nya atau penampakan Cahaya-Nya, yang jika Dia tidak ada, maka alam pun tidak akan ada. Di sinilah, karena Tuhan merupakan wujud Yang Sebenarnya, maka manusia lebih dekat dengan-Nya dibandingkan dengan yang selain-Nya yang pada dasarnya bukan merupakan wujud yang sebenarnya.[10]
Dari kutipan tafsir kitab al-Hikam di atas dapat kita tarik ringkasan bahwasanya, Allah itu adalah yang menyinari kegelapan (ketiadaan)—pada konteks ini yaitu alam. Allah juga berada di dalam alam (imminent) dan menampakkan alam namun bukan bagian dari alam (transcendent). Dia hanya dapat dilihat dengan mata hati—cahaya Ilahi yang terlalu besar dapat menyilaukan mata manusia sehingga manusia justru hanya akan melihat yang ditampakkannya yaitu alam. Manusia juga tidak dapat melihatnya disebabkan mereka memiliki khayalan-khayalan yang keliru bahwa ada sesuatu di sisi-Nya, atau ada yang menabiri-Nya, atau setara dengan-Nya. Allah bukanlah Zat yang dapat disandingkan dengan segala sesuatu, namun Dialah yang menyinari (mengejawantahkan) segala sesuatu, maka bagaimana bisa sesuatu tersebut menutupinya melainkan Allah menampakkannya—Dia yang membuat sesuatu tersebut tampak/hidup. Alam ini sendiri iyalah cerminan dari keberadaan-Nya, jika Dia ingin melihat dirinya di luar diri-Nya maka itulah alam, sebagai bentuk kekuasaan-Nya.
[9] Di Bab XIV Hikmah ke-138 Ibn 'Athâ’illâh mengatakan, "Sekiranya bukan karena penampakan-Nya di benda-benda ciptaan-Nya, maka tidak akan ada penglihatan kepadanya (benda-benda ciptaan)”
[10] Sajari, Dimyati. Mengenal Allah. Disunting oleh Amirulloh Syarbini. Bandung: Fajar Media, 2012.