Oleh : Ubaiyana (Mudabbiroh Mabna Syarifah Muda'im)
Pemuda harus memaksakan diri berpikir kritis dalam berbagai hal. Suatu hal yang mampu mengangkat derajatnya dan derajat negaranya. Beragam cara, tips, bahkan program dalam meraih kesuksesan sudah pernah dan mungkin sedang kita jalani. Mengikuti beragam seminar,
workshop,
training motivation, studium, hingga berkaca kepada para peraih
achievement, dan sejenisnya sudah dilakukan. Nyatanya, bagian terpenting adalah mengenai hasil akhir. Terkadang, kegagalanlah yang menyebabkan semangat itu kendur. Salah satu cara sederhana yang dapat memompanya kembali, yaitu tekad. Memang sederhana saat mengucapnya, rasa sulit datang ketika kita mulai melakukannya. Kris Yanto, Nurul Taufiq Rochman, Tunggul Dian Santoso dan Nadirman Haska adalah sebagian pemuda yang berkarya dalam industri bioteknologi dan teknologi industri. Sayangnya, karya itu belum signifikan mencirikan identitas bangsa. Sehingga belum bisa menjadi solusi bagi kaburnya semangat budaya bangsa pada generasi muda saat ini. Kealpaan pemuda dalam pengembangan budaya, nampaknya menambah poin semakin mundurnya budaya bangsa. Alhasil, semakin tertinggalnya pengembangan dalam kebudayaan, maka semakin hilang pula identitas bangsa.
Pemuda menjadi tolak ukur maju atau berkembangnya suatu negara. Tindakan kita selalu didasari “
Bagaimana Pengaruhnya terhadap masyarakat”. Tidak hanya mengenai uang, namun pembangunan dalam suatu daerah tertentu bahkan suatu negara adalah fokus utama. Hal ini sesuai dengan amanat Nasional dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945, yaitu “
Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Ingat, visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokrasi, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera didukung oleh manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, mandiri, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, serta disiplin. Tujuannya mewujudkan bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera.
Pemuda sudah seharusnya turut membantu usaha pemerintah tersebut. Salah satunya menunjukan pada dunia tentang identitas bangsa. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya bangsa mulai terkikis oleh budaya luar. Hal ini sudah kita ketahui bersama. Seharusnya tanggapan pemuda bukan dengan duduk memangku kaki meratapi terhapusnya ciri khas bangsa. Pemuda memiliki andil dalam mempertahankan, mengembangkan dan menyebarluaskan budaya bangsa di mata dunia. Dengan itu, pemuda dituntut inovatif dan tampil sebagai pemenang.
Empat pilar pendidikan indonesia yang patut menjadi pedoman pemuda yakni sebagai berikut; Pertama,
learning to know. Menurut Dr. Victor Ordonez pilar ini berbicara mengenai tiga hal yakni; materi pembelajaran, proses pembelajaran dan si pembelajar mungkin akan berbeda. Perguruan tinggi bukanlah sumber utama atau gudang ilmu pengetahuan. Mahasiswa dapat memperoleh informasi dari mana pun dan fungsi dosen adalah sebagai fasilitator. “
Apabila universitas terus berperan seolah memiliki monopoli ilmu pengetahuan dan bahwa yang baik adalah yang mempunyai gelar, maka mereka segara akan menjadi dinosaurus,” tanggapan Prof. Carneiro. Di masa mendatang guru dan dosen akan menghadapi siswa dan mahasiswa dengan logika berpikir yang berbeda. Tidak lain sebagai akibat dari era video games dan realitas virtual.
Kedua,
learning to do. Pada masa yang akan datang kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal akan mengalahkan keterampilan intelektual. Jenis pekerjaan diprediksi akan berubah lebih kepada industri jasa (konsultan, manajemen, keuangan, akuntansi, layanan sosial, kesehatan, pendidikan dan lain-lain) yang membutuhkan hubungan interpersonal, komunikasi dan informasi. Untuk masa depan tidak lagi terpaut kepada pendidikan keterampilan fisik rutin, tetapi menggabungkan keterampilan dan bakat, seperti perilaku sosial, prakarsa personal, dan kehendak untuk mengambil resiko.
Ketiga,
learning to live together. Hal ini penting untuk menghadapi dunia yang memiliki konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Kehidupan bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi masyarakat, orang tua, siswa/mahasiswa, guru/dosen dan semua pihak. Dalam lingkup Asia-Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik, agama dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu memaknai keragaman kultural ini.
Learning to live together, diperlakukan dalam globalisasi yang kooperatif sekaligus juga pelestarian nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sehingga ada usaha bersama untuk saling mengasihi dalam kehidupan.
Keempat,
learning to be. Pilar ini menyodorkan gagasan: “
Sebuah masyarakat pembelajar dilandasi oleh perolehan, pembaruan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan”. Baik anak-anak maupun kelompok usia pemuda harus mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan semua bakat tersembunyi dalam dirinya. Dalam hal ini, kegiatan ekstrakurikuler menjadi solusi tepat.
Empat pilar tersebut patut dijadikan acuan pemuda dalam mengembangkan keragaman inovasi demi terwujudnya cita-cita negara. Hal yang tidak kalah penting yakni mengetahui dan benar-benar memahami identitas Nasional. Menurut Prince, identitas Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan dan bahasa. Identitas nasional dapat dirumuskan menjadi tiga bagian: (a) Identitas fundamental, yaitu pancasila, dasar negara dan ideologi negara; (b) Identitas instrumental, yaitu UUD 1945 dan tata perundangannya, bahasa, lambang negara, bendera dan lagu kebangsaan. (c) Identitas alamiah, yaitu negara kepulauan dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan agama atau kepercayaan. Identitas inilah yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk bangga dan memperoleh derajat di mata dunia.
Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia lebih dari 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Warisan budaya indonesia seharusnya menjadi alat atau senjata pamungkas seorang pemuda. Dengan warisan tersebut, pemuda dengan sikap dan tindakan inovatif, kreatif dan kritisnya seharusnya mampu menjaga citra bangsa salah satunya melalui budaya. Warisan budaya indonesia yang pertama dikenal yaitu wayang. Hal itu diakui oleh UNESCO sebagai karya agung budaya dunia pada tahun 2003. Warisan budaya indonesia yang kedua yaitu keris. UNESCO menyatakan keris sebagai “
Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 25 November 2005. Warisan budaya indonesia yang ketiga yaitu batik sebagai warisan budaya dunia (
World Heritage). Warisan budaya indonesia yang keempat yaitu angklung yakni alat musik multitonal. Warisan budaya indonesia yang kelima yaitu tari saman yakni sebuah tarian suku Gayo. Tidak hanya itu, ada 12 unsur kebudayaan yang menarik kedatangan wisatawan, yaitu: bahasa, masyarakat, kerajinan tangan, makanan, musik dan kesenian, sejarah, cara kerja dan teknologi, agama, bentuk dan arsitektur, tata cara berpakaian, sistem pendidikan, serta aktivitas pada waktu senggang.
Beberapa budaya Indonesia di atas telah tertata dalam jendela internasional. Namun, itu bukan solusi lunturnya budaya Indonesia di kawasan ibu pertiwi. Budaya yang telah mendunia tersebut tetap mudah dikalahkan oleh budaya barat yang mendominasi di kalangan generasi muda. Apa gunanya wayang berkeliling dunia mewakili nama negara, jika kaum penerus memilih akrab dengan budaya asing? Fenomena
pokemon go, berhasil membuat anak lupa dengan permainan kelereng. Media sosial dengan beragam jenis seperti facebook, instagram, path, twitter, menjadi sebab amnesia seorang anak terhadap permainan enggrang atau sepak bola. Anak lebih senang diajak ke
mall daripada mengunjungi pagelaran seni dan budaya. Ada apa dengan semua ini? Bagaimana pemuda menanggapinya? Beruntung terdapat sebagian kecil pemuda yang bersikap cerdas dalam mengembangkan budaya Indonesia. Karya mereka menciptakan game online dalam android misalnya, lompat karung, dakon,
temple rush (prambanan), karapan sapi, crazy angkot, soeroboio ’45 (surabaya 45) dan lain-lain.
Kejadian ini menuntut pemuda diibaratkan berperan sebagai seorang petinju, pelatih dan promotor budaya. Sebagai petinju, pemuda dituntut mengambil peran utama dalam kemajuan suatu negara, salah satunya adalah budaya. Semua ini dapat berlangsung dinamis sesuai kondisi. Misalnya, seorang guru. Ia bisa mendeklarasikan budaya melalui pekerjaannya. Dengan menyelipkan materi kebudayaan dalam pelajaran yang diajarinya. Bisa dalam bentuk contoh atau praktek pembelajaran. Dalam pelajaran bahasa inggris, sebuah lagu “
Gundul Pacul” diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan dinyanyikan kembali dalam bahasa inggris. Salah satu contoh pelestarian budaya. Dalam pelajaran fisika, permainan enggrang atau kelereng dapat dijadikan contoh pembelajaran jarak dan percepatan.
Sebagai pelatih, hampir sama dengan seorang petinju. Selain menjadi pemeran utama, seorang pemuda sudah seyogyanya lebih tahu dan paham mengenai budaya. Tentunya sebelum menanamkan kecintaan tersebut kepada generasi penerus, Ia patut mencerminkan sikap serta tindakan, berpakaian, berkreasi, menciptakan dan mengembangkan produk sesuai identitas lokal.
Sebagai promotor. Jabatan ini adalah ujung dari pencapaian seorang pemuda dalam memajukan bangsa di mata dunia. Cara bersikap, cara menyebarluaskan dan cara memasarkan produk. Kenal Pierre Coffin? Seorang pria berdarah indonesia menjabat sebagai arsitektur utama dalam karakter
minions. Andre Surya, sang animator
transformer 3D atau Griselda Sastrawinata, animator perempuan dalam film animasi
the sherk. Sempatkah terpikir mengapa orang-orang hebat itu tidak menghasilkan suatu karya yang mencirikan negara ini? Misalnya, Pierre Coffin membuat
minions mengenakan sarung atau batik khas indonesia. Andre Surya menampilkan background tempat wisata indonesia seperti, candi, monas atau gunung bromo. Begitu juga dengan Griselda, bisa saja dia membuat pakaian
sherk bernuansa batik atau memegang keris. Bukan tidak mungkin, tetapi semua itu bisa saja terjadi jika ada kreasi dan semangat kuat dari kalangan muda demi membawa nama baik dirinya dan juga negaranya.
Sudah seharusnya pemuda memiliki tiga bentuk karakter, sebagai petinju, pelatih dan promotor. Karakter tersebut sebagai bentuk aplikasi empat pilar pendidikan. Jangan lupa, tekad adalah bagian terpenting untuk menenggelamkan segala keraguan dan putus asa bahkan pesimis. Selanjutnya, pencapaian pemuda dalam mengembalikan eksistensi budaya bangsa ini akan menuai hasil, dapat dikenal dan dilestarikan oleh anak cucu ibu pertiwi atau dapat diketahui dan disegani oleh kalangan domestik dari negara luar.
#Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba Esai tingkat Mahasiswa se-Jabodetabek dan Banten dalam rangkaian acara Syahid Fair 2016 dengan tema "Refleksi Pemuda Visioner Menuju Masa Depan Bangsa yang Berkarakter". Tulisan ini memperoleh penghargaan sebagai JUARA III LOMBA ESAI TINGKAT MAHASISWA SE-JABODETABEK DAN BANTEN
#Diambil dari blog pribadi Ubaiyana
https://ubaiyana.wordpress.com/2018/03/13/bayanal-lessy-inovasi-pemuda-dalam-pelestarian-tradisi-dan-budaya-indonesia/