DUNIA KOMPETISI MEMBUTAKAN PERSEPSI TENTANG PRESTASI
Oleh: Arif Budiman Al-Faris (Mahasantri Mabna Syekh Nawawi)
Sejak memasuki era revolusi industry di Inggris dalam rentang tahun 1750 – 1850. Dimana terjadi perubahan secara besar-besaran dibidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi. Yang awalnya menggunakan tenaga manusia berubah memprioritaskan tenaga uap (Faisal, 2016). Semenjak hari itu suasana yang sarat akan kompetisi semakin menyurut ke permukaan. Orang-orang desa mulai berbondong-bondong melancong ke kota industri, yang harapannya mendapatkan kesuksesan dalam memperbaiki taraf ekonomi. Dan tanpa disadari suasana kompetisi itu mulai merambah ke berbagai aspek dan menjadi ciri khas zaman mutakhir ini.
Sejak kala itu, kompetisi seakan menjadi bumbu kehidupan yang mengiringi cerita hidup setiap orang. Dari kompetisi inilah lahir istilah prestasi, yaitu untuk orang yang unggul berkompetisi dengan orang lain. Prestasi sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie, artinya hasil dari usaha. Secara etimologis kata prestasi merupakan hasil dari usaha yang berarti bahwa setiap orang yang telah berhasil atau hasil akhir dari apa yang dia kerjakan berbanding lurus dengan harapan dan tujuannya. Oleh karena itu, prestasi bisa diartikan sebagai capaian seseorang yang telah berusaha.
Namun, masalahnya pandangan terhadap prestasi yaitu dengan memandang prestasi hanya dari aspek material dan perbandingan dengan kemampuan orang lain, padahal setiap orang memiliki prestasinya sendiri. Tidak perlu mengikuti suatu kompetisi yang pada hakikatnya untuk membandingkannya dengan orang lain.
Semua orang berlomba-lomba mengikuti ajang kegiatan dengan berunjuk gigi menampilkan bakat atau kemampuannya dalam suatu kompetisi, sehingga itu dapat mengubah persepsinya tentang prestasi. Prestasi hanya dilihat dari segi pencapaian penyaluran bakat dan keberhasilan membandingkan dengan orang lain bahwa bakatnyalah yang lebih unggul. Hal itu sangatlah eksklusif. Karena setiap orang dapat berprestasi dalam bidang apapun. Dan hal klise yang sering didengar adalah prestasi disandangkan kepada seseorang “cerdas”, itu cenderung dilihat dari potensi akademik saja. Keberhasilan orang di luar akademik tidak dipandang “cerdas”. Tentunya akan membawa efek negatif terhadap sisi psikologis seseorang.
Lingkungan yang baik akan mengantarkan kepada seseorang untuk menjadi orang yang berprestasi. Karena prestasi yang hakiki adalah prestasi mengenal diri sendiri secara komprehensif. Dengan mengenal diri secara sadar dan menyeluruh, seseorang bisa lebih mengeksplor semua potensi yang ada dalam dirinya. Serta jika dia sudah mengenal diri, maka persepsi terhadap lingkungan akan membentuk konsep diri yang cenderung bagus. Karena tujuan persepsi adalah perwakilan internal dari dunia luar (David Marr, 1982). Contohnya tujuan penglihatan adalah membentuk perwakilan tiga dimensi dari dunia otak. Inilah prestasi yang sesungguhnya yaitu saat seseorang lebih mengenal dan bersyukur akan penerimaan mengenai dirinya. Semakin dalam menyelami alam bawah sadar seseorang, maka seluruh potensi yang ada bisa dibeberkan keluar. Karena menurut Sigmund Freud (Laura A King, 2012, 128) potensi alam bawah sadar manusia diibaratkan gunung es yang sebagian besar tenggelam di lautan. Oleh sebab itu, mengenal diri dan memperbaiki alam bawah sadar menjadi sadar akan menghantarkan kepada prestasi yang hakiki.
Jadi, prestasi tidak bisa dilihat dari satu arah saja dan semua orang bisa berprestasi meski tanpa perbandingan atau pemeringkatan dengan orang lain. Hal yang paling hakiki adalah mengenal diri dan potensi yang ada. Dan yang lebih penting persepsi terhadap lingkungan dapat terintegrasikan dengan pengenalan diri, sehingga bisa menjadi pribadi yang optimal.
Editor: Redaktur “BUSA” Buletin Mahasantri Mabna Syaikh Nawawi