“DIMANAKAH PRESTASIKU”
“DIMANAKAH PRESTASIKU”
“Sekapur sirih kutipan sastra tentang sebuah perjalanan menempuh sebuah impian dalam mencari prestasi” Oleh: Ibas Eka Baskhoro (Mahasantri Mabna Syekh Nawawi) “Belajarlah nak, bawakan kami sebuah prestasi untuk mengobati letih ini dalam mencari rezeki dan sesuap nasi nak. Kami bangga memilikimu, kami bahagia akan kehadiranmu”, (seuntai harapan dari(Bapak dan Ibu)nya pada mu),-. Pernahkah dalam sanubari kita berfikir akan seberapa besar balas budi yang sudah kita berikan pada mereka selama ini..? Pernahkah pula kita berfikir akan seberapa berat cobaan, rintangan, dan tekanan yang mereka alami dalam upayanya mengumpulkan biji padi hingga terkumpul sesuap nasi. Tiada ibakah kita melihat tubuhnya yang renta termakan usia? Dan mana hasil yang seharusnya mereka dapatkan dari sosok yang diharapkannya selama ini? Jangankan sejuta prestasi, sebuah prestasi pun bahkan tak sanggup kau berikan kepadanya. Seorang anak yang hidup tak lebih seperti sebuah benalu yang hanya menghisap sari dari tumbuhan lain. Apakah  tiada pernah kita sadari bahwa yang menggerogoti fisiknya hingga renta sedemikian lemah itu adalah kita? Bak diberikanya air susu, dibalas pula dengan air tuba. Ibarat kau berikan segunung harta dan segudang prestasi pun tak akan sebanding dengan setetes air asi ibu ataupun setetes keringat ayah saat membanting tulang berebut nafkah. Tapi, ada kalanya di mana mereka meneteskan air mata suci, air mata surgawi, hanya karena melihatmu membawa sebuah gelar prestasi. Rasa bangga dan bahagia seolah bersatu meruntuhkan lesu letih jiwa rentanya. Betapa mereka merasa bangga walau hanya upaya mereka dibalas dengan selerai sepoy angin yang tiada wujudnya. Walau besar kuping tak kan sebanding dengan berharganya gading, itulah citra pengorbanan mereka untuk insan harapannya. Lantas, apakah yang bisa kita lakukan untuk menjawab harapan kecil mereka ? Apakah sujud dan doa yang mereka panjatkan setiap malam akan berakhir dengan sia-sia? Ketahuilah teman, terkadang kita memang diharuskan membuka sedikit cakrawala untuk menjawab semua problema tersebut. Bukan karena rasa balas budi kita kepada mereka, tetapi setidaknya, janganlah doa hanya sekedar doa, dan janganlah doa suci berakhir dengan hinaan yang keji, karena takkan mungkin ada kita tanpa adanya mereka dan tidak mungkin kita hidup tanpa adanya asi ibu dan keringat ayah kita. Itulah sebabnya mengapa kita harus berfikir bahwa setidaknya berikan upah mereka walau hanya seujung kuku. Ingatlah bahwa merekalah surgamu, merekalah jalan keridhaan untuk kesuksesanmu. Saat dimana bibir halusnya bertutur, “kami bangga dengan prestasimu nak,” saat itu pulalah tumpahan kebahagiaan mereka curahkan dari hasil balas budimu yang tak lebih dari seujung kuku. Tetapi, akan miris jadinya jika suatu hari, harapan yang ditumpuhbanggakan ternyata berkhianat, pula mendustai doa malamnya. Betapa hati kecilnya teriris dan kecewa jika ternyata padi yang ditanamnya berbuahkan bangkai berlumurkan darah. Mutiara yang dibanggakan bak gelap bagai gulita. Bukankah mereka meridhaimu jauh dari asuh dan peluk kasihnya hanya untuk menggapai cita dan prestasi ? Hari bergulir ke minggu, minggu pun tertelan bulan, bahkan bulan terkikis tahun, tak satupun prestasi kalian tunjukan pada mereka nun jauh disana bekerja dan berdoa untuk kita. Hanya karena teman, orang tua tiada diacuhkan, hanya karena gengsi, orang tua dianggap sudah mati. Apakah semakin rentanya mereka tiada membuat iba hati kita? Heningnya suara beradu syahdunya angin berseru, sedikit kita buka sanubari kecil ini. Mengingat secercah nasihat mereka, pun jua hayati arti hidupnya dan introspeksi kebatilan kita, saat dimana diri harus lepas dari masalah duniawi, mencoba bangkit berdiri menginjak angan maknawi. Terkadang tanpa kita sadari sungguh Tuhan telah menunjukkan betapa berartinya makna ciptaan berupa raga ini, tiada setitik pun yang hina dan tiada sebutir pun yang ternoda. Disela halusnya hembusan maha dewa semesta, terbenak dalam jiwa betapa rugi diri ini jika hidup sebagai mahasiwa yang menjadi harapan dan tumpuan negeri bahkan tidak mampu menuai satu pun prestasi. Dimanakah harga diri ini? Kapankah Ibunda Pertiwi ini mencapai jaya abadi tahta pribumi, jika kami hanya menjadi seorang yang hidup tanpa satupun prestasi dan bahkan malah mendolimkan waktu dan merugi. Bukankah diri ini sudah banyak dinasihati, bukankah pujangga pejuang yang bahkan baka demi bangsa ini telah menegur kami, tetapi kenapa diri ini tiada tergetar hati. Sepenggal kalimat pun tertuang dalam catatan sejarah yang menjadi bukti akan gugurnya bunga bangsa, “wahai penerusku, pemuda yang berprestasilah yang kelak membawa negeri ini ke mahkota nusantara, jadilah pemuda yang cinta bangsa, jadilah pemuda yang luar biasa, karena jika kelak kami tua, engkaulah yang akan menjadi raja penobat tahta mahkota bangsa.” (W.R. Supratman). Sungguh tidak hanya ayah dan bunda, bahkan nusantara pun bangga jika seorang mahasiswa memiliki prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Betapa mulianya diri jika dihiasi walau hanya dengan satu prestasi. Semakin cepatnya waktu bertabur heningnya kalbu serentak mendorongku untuk meminta maaf pada orang yang selama ini terhianati ulah dari kecerobohan diri, “maafkan aku orang tua ku, maafkan akan penghianatan dan kedzalimanku, maafkan akan daku yang tiada henti menumpahkan darah dan keringatmu untuk menafkahi segala kerugianku, maafkan aku orang tua ku. Andai masa dapat ditarikulurkan, diri ini akan merubah semua. Tunggulah prestasi buah hatimu ini, nantikan saat dimana bumi pertiwi tersenyum bangga menata mahkota oleh seorang putra bangsa dari ayah dan bunda. Aku pun bangga akan mereka, akupun bangga menjadi pemuda Indonesia” Sehelai kapur sirih ini kutulis untuk kedua orang yang selama ini belum sempat daku senyum banggakan, orang yang selalu menantikan kepastian amanahnya padaku, orang yang selalu menantikan sebutir prestasi dariku, tiada kesempurnaan terkecuali ciptaan Tuhan, raut kekuranganlah hasil karya cipta dari apa yang telah ia ciptakan (hamba-Nya). Petiklah setitik manfaat yang dapat dipetik, dan pendamlah sekarung serakan yang tiada layak dipetik. “Prestasi bukanlah suatu keuntungan bagi sebagian insan, tetapi prestasi merupakan kewajiban bagi semua insan yang mana dia bertuhan dan bertanggung jawab akan amanah dan kewajiban”   Editor: Redaktur “BUSA” Buletin Mahasantri Mabna Syaikh Nawawi