CERPEN : SENJA TERAKHIR DI RANAH MADANI
CERPEN : SENJA TERAKHIR DI RANAH MADANI
azizah-fkik Oleh: Azra Al Amanah (Aziza Nurul Amanah - Mudabbiroh Mabna Syarifah Khadijah – 11151020000095 – FKIK/Farmasi) Senja  sore itu, mengingatkannya ketika ia pernah merasakan menjadi santriwati, beberapa tahun silam. Memori itu tak akan hilang dalam ingatannya.  Ana Khumairoh, gadis kecil keturunan suku melayu, ia merupakan Anak bungsu dari tiga bersaudara, ibunya seorang guru dan ayahnya seorang pegawai biasa. Ana memiliki kulit tubuh yang putih serta lembut, wajah nan elok, berbola mata bulat dengan sorotan mata seperti elang, bulu matanya yang lentik, serta bibir merahnya yang mungil menjadikan ciri khas tersendiri baginya. Di kampungnya Ana dianggap sebagai bidadari, keanggunan dan kecantikannya tidak ada tandingannya, sehingga membuat semua Anak muda iri kepadanya. Sejak kecil Ana termasuk Anak yang pandai bergaul dengan siapa saja, tidak memandang tua ataupun muda, bagi Ana semuanya adalah teman. Sikap inilah Ana kemudian dikenal sebagai Anak yang ramah nan santun terhadap siapa saja. Selain itu Ana juga murid yang cerdas nan teladan di sekolahnya, berulang kali Ana mendapatkan juara di sekolahnya, selain itu Ana juga sering mengikuti perlombaan tingkat nasional. Prestasi yang gemilang pernah diraihnya. Ketika Ana lulus dari bangku Madrasah Ibtidaiyah[1], Ana meminta kepada ibu dan ayahnya untuk memasukkannya ke Pondok Pesantren, entah dari mana Ana mendapatkan kata itu, sementara orang tuanya sendiri tidak mengetahui tentang seputar kepesantrenan secara mendalam, yang mereka ketahui hanya sedikit, itupun mereka mengetahuinya sering melihat acara di televisi. Lagipula sebelumnya tidak ada riwayat keluarganya yang berpendidikan di pesantren. Awalnya ayah dan ibu setuju akan keputusan Ana untuk melanjukan pendidikan di pesantren, tetapi tidak dengan kedua kakaknya, mereka ragu jika adik bungsunya melanjutkan di pesantren, sepengetahuan kakaknya, bahwa pesantren itu harus memasak sendiri, mencuci sendiri dan melakukan semua hal dengan secara mandiri, sementara Ana masih sangat kecil untuk melakukan itu semua, apalagi Ana belum bisa melakukan itu semua secara mandiri. Mendengar alasan kedua kakaknya, ayah dan ibu sependapat, mereka saat ini belum bisa mengizinkan Ana untuk melanjutkan ke pesantren, mereka baru akan mengizinkan Ana ketika Ana sudah mulai bisa mandiri. Ana sendiri sebenarnya cukup kecewa karena tidak mendapatkan izin, tetapi apa yang dikatakan orang tuanya dan kakak-kakaknya, ada benarnya juga, saat ini ia juga belum memiliki kesiapan secara matang, ia sendiri khawatir, jika nantinya ia tidak betah di pesantren dan membuat keluarganya kecewa. Ana memilih untuk menuruti orang tuanya saja, kembali melanjutkan pendidikan di  Madrasah Tsanawiyah[2] dekat rumahnya. Selama dibangku MTs, Ana tergolong Anak yang cerdas, aktif dan kreatif. Sehingga semua guru-gurunya disekolah sangat menyukainya, tak heran jika selama dibangku MTs, Ana selalu dipercaya untuk mewakili sekolahnya di setiap ajang perlombaan. Selain itu juga, setiap tahun ia selalu masuk 3 besar, bahkan sering menjadi juara umum di sekolahnya. Seusai ujian, ibu menanyakan Ana, hendak kemana ia melanjutkan sekolah selulus dari MTs ini. Seperti biasa Ana menjawab ingin melanjutkan di sekolah Madrasah lagi, karena ia sama sekali tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum ataupun kejuruan. Esok hari Ana mendaftarkan diri ke Madrasah Aliyah [3] Model di kampungnya. Beruntungnya, ia mendapatkan bebas biaya pendaftaran dan tes masuk MA tersebut. Sepulang dari mendaftar, Ana merasa ragu untuk melanjutkan ke MA di kampungnya, ia beranggapan kalau ia tetap berada di kampungnya, ia tidak akan berkembang dan hanya begitu saja. Akhirnya ia menetapkan ingin melanjutkan pendidikan di pesantren saja, seperti apa yang telah ia harapkan beberapa tahun yang lalu. Mendengar keinginan bulat dari sang Anak, ibu dan ayah menuruti saja kehendak si bungsu. Tak lama, sekitar berselang beberapa hari sejak Ana memutuskan ingin di pesantren, kak Alfi langsung mengajak Ana untuk segera mendaftarkannya ke pesantren. Jarak dari kampungnya menuju pesantren sangatlah jauh, memakan waktu sampai setengah hari. Dari rumah Ana dan kakaknya berangkat pukul 06.00 pagi dengan menggunakan travel, pukul 10.00 mereka baru tiba di pusat kota dan langsung berganti travel untuk menuju kampung santri, sebutan untuk daerah tersebut. Setibanya disana, sekitar pukul 11.30, Ana dan kakaknya langsung menuju ke kantor pendaftaran santri baru, disana Ana diberi soal test dan wawancara untuk menguji kemampuannya, ia dites membaca Al-Qur’an, Bahasa Arab, serta Bahasa Inggris. Alhamdulillah semua itu bisa dilaluinya, walaupun sebenarnya ia merasa gugup ketika menjawab semua pertanyaan tersebut.  Setelah selesai, Ana dan kak alfi langsung menuju ke bagian administrasi untuk pembayaran biaya pendaftaran dan semua kebutuhan, dari lemari, kasur, bantal, seragam, buku-buku dan peralatan lainnya. Sepulang dari sana, ibu segera menghampiri Ana dan kakaknya, “Bagaimana hasil testnya?” Tanya ibu dengan membawakan segelas es teh dan roti untuk Ana dan kak Alfi. ”Alhamdulillah bu, Ana bisa menjawabnya dengan lancar dan hasilnya ia diterima di pesantren”. Ujar kak Alfi memberikan kabar baik untuk ibu dan keluarga. Wajah ibu tampak bersinar gembira mendengar kabar tersebut, “Alhamdulillah kalau begitu nak, Ibu senang mendengarnya.” ujar ibu sambil mengelus kepala Ana. Ana tersenyum kemudian memeluk ibunya. Malam itu, Ana tampak gelisah, entah apa yang ia gelisahkan, padahal semua keperluan telah disiapkan, hanya menunggu waktu keberangkatan yang hanya tinggal 1 minggu lagi. Dari kejauhan kak Niya, (kakak keduanya) melihat adiknya yang sedang melamun. “Kamu kenapa de’, apa yang kamu lamunkan?” tanya kak Niya sambil duduk disebelah Ana. “nggak[4] apa-apa kok kak, Ana hanya khawatir nanti Ana nggak betah disana.” jawab Ana singkat dengan tatapan yang sendu, padahal sebenarnya ia cukup berat hati untuk berpisah dengan keluarga. “oalah itu yang kamu lamunkan,? yasudah tidak usah khawatir begitu, insyaAllah nanti kamu betah kok disana, yang terpenting kamu harus semangat belajar, jangan sampe[5] mengecewakan ibu dan ayah. Kamu lihatkan betapa senangnya ibu mendengar kamu lulus di pesantren.” ujar kak Niya memberikan nasihat. “Yaudah saran kakak sebaiknya kamu tidur saja, hari sudah malam, nanti kamu kesiangan lo bangunnya.”sambung kak Niya sambil mengelus rambut adiknya. Ana hanya mengangguk saja, menuruti saran kakaknya. *** Seminggu berlalu, kini hari yang Dinantikan telah tiba. Jantung Ana berdetak cepat, aliran darah mengalir deras sampai bisa ia rasakan, hormon adrenalin meningkat hingga memicu kegelisahannya pagi ini. Tinggal menunggu beberapa jam lagi ia kan segera pergi meninggalkan kampung halamannya untuk menimbah ilmu di tanah rantau. Tet..tet..tet.. Klakson mobil telah berbunyi, travel yang ditunggu telah tiba, ayah langsung mengangkat barang-barang Ana menuju bagasi mobil, dengan segera Ana langsung menyalami ibunya dan memeluknya, isak tangis berderai pagi itu. Tak banyak yang ibu bicarakan padanya, hanya seuntai nasihat untuk Ana, supaya ia menjaga baik-baik dirinya selama di tanah perantauan. Ana sedikit kecewa, karena ibunya tidak ikut mengantarnya, yang ikut mengantarkannya hanya ayah dan kak Niya. Karena ibu harus mengajar, Anak didiknya adalah prioritas dan kewajibannya. Waktu terus berputar, dari kejauhan Ana melambaikan tangan sampai wajah ibu tidak lagi nampak dari hadapannya. Secara perlahan-lahan, mobil melaju dengan cepat lalu meninggalkan kampung halamannya. Pematang sawah nan hijau, pepohonan nan rindang, derasnya air sungai yang mengalir, tidak akan ia temui lagi, ia akan sangat merindukan suasana alam kampungnya yang asri. Ana telah memasuki kawasan komplek pesantren, dari gerbangnya yang cukup megah dengan papan bunga yang bertulisan Ahlan Wa Sahlan ya Tholib wa Tholibat Ma’had Jamiah Al Islamiyah[6]. Hari ini pesantren sangat ramai, ada ribuan wali santri yang datang dari berbagai daerah untuk mengantarkan Anak-Anak mereka. Kak Niya dan Ana langsung turun dari mobil dan segera menuju stand penyambutan santri baru untuk melihat daftar nama dan asrama, sementara ayah sibuk menurunkan barang-barang Ana dari travel. “Selamat datang mbak, ada yang bisa kami bantu?”, ujar seorang santriwati senior yang menyapa dengan ramah. “Begini dek, saya mencari nama adik saya, Ana Khumairoh, untuk mengetahui asrama yang akan ditempatinya”.ujar kak Niya. “Baiklah mbak, saya bantu mencarikan.” ujar santriwati senior itu sambil mncari nama Ana. “Ana Khumairoh asrama 4 Fatima Az-Zahra”. ujar santriwati tersebut, “mari mbak saya antarkan,” ujar santriwati yang memiliki papan nama Nurfadilah, santriwati tingkat II Aliyah. Ana, kak Niya dan ayah langsung mengikuti santriwati tersebut menuju asrama. Ternyata asrama Ana berada di lantai II di dekat pohon jambu. Kondisi kamarnya sederhana, satu kamar berisi sekitar 25 -30 orang santri, mereka tidur di lantai dengan posisi mereka masing-masing. Tidak ada perbedaan antara santri yang berasal dari keluarga yang berkelas dengan santri yang berasal dari keluarga menengah kebawah.  Di pesantren itu mereka semua disamaratakan. Setelah melihat kondisi asrama dan lingkungannya, ayah dan kak Niya segera pamit untuk pulang, mereka tidak bisa menginap seperti para wali santri yang lainnya, karena ayah besok akan bekerja, sementara kak Niya harus mengajar dan kuliah. Dengan rasa berat hati, Ana melepaskan serta mengantarkan ayah dan kak Niya menuju gerbang pondok. Sebelum pergi meninggalkan pondok ayah dan kak Niya berpesan, agar Ana baik-baik menjaga diri, belajar yang rajin. Agar kelak bisa menjadi Anak yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Senja sore ini adalah senja pertama yang Ana lihat di tanah rantau, menatapi senja ini, Ana memiliki seribu mimpi dan harapan yang besar untuk kedepannya. Dengan menutup mata ia rasakan kesejukan angin sore sambil menikmati sunset. “Sore ini anginnya cukup sejuk ya,” tiba-tiba suara asing terdengar dari sebelah kanannya. Dengan perlahan ia membuka mata lalu melihat ke kanannya. Seorang remaja putri yang memiliki tubuh tinggi, berwajah bulat dengan lesung pipitnya yang manis mirip artis cilik Tasya Kamila, telah berada disampingnya dan mengulurkan tangan. “Dina, FaramaDina”. Ucapnya. “Ana, Ana Khumairoh, balas Ana dengan meraih tangannya dan membalas senyum yang dilontarkannya. “Darimana kamu berasal?” tanya Dina dengan penuh  antusias.” Aku berasal dari desa nyiur, cukup jauh dari sini sekitar setengah hari, perjalanan yang harus ditempuh.”  Jelas Ana dengan santai, “Bagaimana denganmu?” Ana berbalik menanyakan. “ehm sama, aku juga berasal dari desa yang sangat jauh luar  dari provinsi ini, Balikpapan.” jawabnya. “wow jauh sekali, kamu diantar keluargamu?” tanya Ana dengan takjub. “Yap, saya diantar kakek dan saudara saya, tapi mereka sudah pulang, “Jawabnya singkat. “Ehm, orang tuamu tidak ikut mengantarkanmu?” tanya Ana dengan penasaran. “orang tuaku telah tiada, setahun yang lalu, kecelakaan maut yang merenggut nyawa mereka.” jawabnya dengan suara rendah menandakan kesedihan. “Ops, maafkan aku, seharusnya aku tidak menanyakan hal itu.”ujar Ana meminta maaf. Allahu Akbar..Allahu Akbar... Adzan magrib telah berkumandang, “sebaiknya kita segera menuju masjid, sampai jumpa kembali, kamu diasrama apa?” tanya Dina sebelum beranjak pergi. “Asrama 4 Fatimah Az-Zahra.” kalau kamu?” teriak Ana dengan suara yang kencang, sampai orang sekeliling memperhatikannya. “Asrama 2 Fatimah Az-Zahra, nanti aku ke kamarmu.” balas Dina dengan teriakan yang tak kalah kencang. Bagi Ana senja sore itu sungguh berkesan, untuk pertama kalinya ia menikmati senja dengan teman baru di tanah rantau seperti Dina. Seusai melaksanakan sholat maghrib berjamaah, Ana langsung mengambil posisi antrian untuk makan malam, untuk pertama kalinya ia berdiri membawa piring dan gelas untuk mengantri makan. Suatu hal yang baru baginya, di kamarnya telah hadir semua santri dari beragam daerah. Makan malam ini adalah makan malam bersama teman-teman seperjuangan di tanah rantau. Mereka menikmati makan malam dengan mencicipi berbagai lauk dari penjuru daerah. *** Sudah seminggu Ana berada disana, tidak ada kata tidak betah, ia sangat senang bisa berada disana, sebuah keputusan yang tepat. Ia dapat mengenal banyak orang dari berbagai penjuru daerah. Ana cepat bergaul dengan teman-teman lainnya, sudah beberapa hari mereka beradu cerita yang tidak kunjung habisnya. Begitupun dengan Dina, ia lebih sering bermain dan berkumpul dengan Ana. Waktu terus berputar, tidak terasa sudah 2 tahun Ana berada di pesantren, suka duka telah ia lalui bersama teman-temannya. Ditahun ke 2 ini Ana mendapatkan berbagai cobaan, mulai dari teman, masalah pelajaran yang sudah cukup sulit baginya, hingga berbagai masalah lainnya. Ketika liburan, Ana sering melihat teman-temannya yang sekolah di SMA mengikuti ekskul dan ikut berbagai perlombaan, melakukan banyak hal dalam berkarya, ada yang mengikuti olimpiade sains, merakit robot dan lain sebagainya, terkadang Ana merasa minder dengan teman-temannya, ia sering sekali ditanya perlombaan apa yang pernah ia ikuti dan apa saja yang telah ia dapatkan selama 2 tahun di pesantren. Ana merasa ia tidak belum pernah mengikuti apapun, jangankan dalam hal perlombaan, dalam hal pelajaran saja ia masih merasakan berbagai kesulitan, dikelas ia sering mendapatkan hinaan dari temannya. Dari berbagai hinaan itulah ia belajar banyak hal untuk menguatkan dirinya, agar tidak lemah, ia berjanji akan membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia bisa lebih dari mereka. Suatu ketika, Ana melihat pengumuman perlombaan cerpen tingkat Madrasah Aliyah, rasanya ia ingin mengikuti perlombaan tersebut, namun dirinya belum yakin atas kemampuan menulisnya, dulu ia sering beberapa kali mengikuti perlombaan ketika dibangku MTs, tetapi selalu saja tidak lolos. Dari saat itu ia merasa kecewa dan tidak lagi untuk mengikuti perlombaan. “An, kamu tidak ikut lomba cerpen?” Tanya Dina dengan membuka topik pembicaraan. “Tidak Din, aku takut nanti cerpenku tidak lolos, apalagi tulisanku belum bagus banget din. Ga akan dilirik,” jelas Ana, seperti mencurahkan isi hatinya. “Lo itu kan dulu, belum tentu saat ini, siapa tahu cerpenmu kali ini bisa lolos. Kamu harus yakin An, bahwa kamu bisa” ujar Dina memberikan semangat supaya Ana mengikuti perlombaan itu. Ana hanya diam memandangi Dina. “kenapa tidak kamu saja Din yang ikut lomba itu.?” Ana berbalik bertanya. “Lah kamu tahu kan, aku ga bisa menulis cerpen, tapi aku lebih suka menulis puisi saja.” jelas Dina. “kita itu saling melengkapi an, kamu pandai bikin cerpen, sementara aku hanya bisa membuat puisi saja. Nanti suatu saat kita bisa berkolaborasi untuk membuat cerpen yang digabung dengan puisi.” lanjut Dina dengan semangat yang menggebu dan meyakinkan Ana. Ana pun mengikuti saran dari sahabatnya Dina, ia tahu betul bahwa Dina adalah teman yang selalu menyemangatinya dan terus mendukung apa yang Ana lakukan. Selama 2 hari Ana fokus menulis cerpen yang akan ia ikut lombakan. Selama itu juga Dina senantiasa mengomentari dan memberi saran dari setiap cerpen yang ia tulis. Akhirnya cerpen yang Ana tulis telah selesai dan ia pun segera mengirimkan naskah tersebut, sebelum akhir deadline. Ana tidak mengharapkan apapun, kalah ataupun menang itu sudah hal biasa, yang terpenting ia sudah mengalahkan sikap tidak pede dan menghilangkan rasa kecewanya. Ia mencoba bangkit untuk tetap berada di dunia kepenulisan. Dua minggu kemudian, setelah dari deadline pengiriman naskah. “An, Ana..Ana..tunggu”teriak Dina,sambil berlari menuju Ana. “Ada apa din?, kok kamu berlari seperti dikejar setan aja.” ledek Ana sambil tertawa melihat expresi Dina yang kelelahan. “Selamat ya an, cerpen kamu lolos, tadi aku liat daftar nama cerpen yang lolos di mading.” jelas Dina, sambil memeluk Ana. Sejak saat itu Ana kembali tampil pede, ia lebih semangat untuk menulis, sepanjang waktu senja ia habiskan untuk menulis dan menulis. Berbagai perlombaan ia ikuti, mulai dari cerpen hingga karya ilmiah, dengan modal nekat dan keyakinan ia berani menampilkan tulisan-tulisannya. Dan hasilnya, dua karya ilmiah yang ia tulis berhasil mengantarkannya ke ajang karya tulis santri nasional dan menyaingi peserta yang dari sekolah umum lainnya. Ana mendapatkan nominasi karya terbaik, walaupun ketika presentasi ia mendapatkan kendala, demam panggung, namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berkarya. Senja ini adalah senja terakhirnya, di senja ini ia menuliskan tentang kisahnya selama di tanah rantau sebelum ia benar pergi melanjutkan pertualangan dan rintangan yang baru, dan menghadapi kehidupan sesungguhnya. Ia benar dapat membuktikan kepada temannya, bahwa santri juga bisa berkarya melalui banyak hal.  Selesai............   [1] Setara dengan Sekolah Dasar [2] Setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) [3] Setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) [4] Nggak artinya tidak [5] Sampe bahasa melayu dari sampai [6] artinya selamat datang santriwan dan santriwati Ma’had jamiah al islamiyah (Bahasa arab)   Daftar riwayat hidup penulis Azra al amanah adalah nama pena dari aziza nurul amanah, Kelahiran Agustus  1996. Ia merupakan Anak bungsu dari 3 bersaudara, tahun 2002 ia menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Istiqomah Sekayu, Kab. Musi Banyuasin, Tahun 2008 ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Negeri Sekayu, Kab. Musi Banyuasin. Tahun 2011 ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah, Indralaya, Kab. Ogan ilir.  Selama di tanah perantauan inilah ia mencoba untuk mengembangkan bakat hobbi yang ia miliki. Tahun 2014 ia kembali melanjutkan pendidikannya di salah satu pesantren yogyakarta. Selama disini ia menghabiskan waktu untuk mengabdi, belajar sekaligus kembali mengembangkan hobbinya. Tahun 2015 Allah memberikan ia kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di salah satu Universitas Islam di Jakarta, Jurusan yang ia ambil adalah Farmasi. Selain kuliah, ia juga aktif di berbagai organisasi dan aktif di forum kepenulisan. Walaupun tulisannya belum banyak diterima dimedia, ia tetap bersemangat untuk terus menulis sampai kapanpun, dan ia yakin suatu saat tulisannya dapat di terbitkan di media massa.