![acep](https://asset.uinjkt.ac.id/uploads/sRLHqoTO/2016/10/acep-200x300.jpg)
Oleh : Acep Lukman Nul Hakim ( 11150161000018 / Mudabbir Ma'had Syeikh Nawawi / Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan)
Ginan adalah salah seorang santri sekaligus siswa di salah satu sekolah negeri di Tasikmalaya. Tubuhnya yang kecil dan perawakan yang tinggi sering disebut si cungkring atau kekurangan gizi ataupun korban gizi buruk. Meskipun begitu dia tetap pede dan tak menghiraukan perkataan orang lain. Usahanya ingin bertubuh “six pack” terus dikerahkan tapi tetap saja sama. Dari kedua kakak perempuaannya, Ginanlah yang paling kecil, meskipun mereka bertiga sama kecilnya tetapi yang membedakan kakaknya sudah tidak sekolah lagi melainkan sudah mengabdi mencerdaskan anak bangsa. Usianya yang sedang menginjak 16 tahun, segala sifat kekanak-kanakan dan pemikiran yang masih labil harus dihapus dengan menuju suatu kedewasaan. Karena selang beberapa bulan lagi dia akan bertambahnya usia, tepatnya pada bulan November. Sejuta harapanpun Ginan tuliskan untuk di hari bahagianya nanti.
Kegiatan sehari-hari Ginan di Pesantren maupun di Sekolah begitu padat. Itu sudah menjadi konsekuensinya. Hari-hari yang diselangi dengan mengaji berbeda dengan anak-anak lain diluar sana. Teringat, dulu ketika mendengar Ginan harus dipesantrenkan karena tidak masuk di Sekolah Favorit. Dia sangat terpukul dan derasan air matanya mengalir seakan tak percaya bahwa itu terjadi pada dirinya. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang bahagia ketika masuk di sekolah yang mereka impikan. Ketika ada sms dari salah seorang sahabatnya, Ginan yang baru bangunpun langsung membuka sms tersebut, seketika wajahnya memerah dan tak mempercayainya. Di dalam sms tersebut tertuliskan bahwa Ginan tidak lulus. Ketika membuka situs sekolah tersebut, ternyata memang benar. Kejanggalan dan keanehanpun muncul Mengapa orang-orang yang dianggap kurang bisa masuk sedangkan ia itidak??.
Banyak orang, teman-teman, Guru-guru serta kerabat dekatnya tidak percaya apa yang sebenarnya terjadipada Ginan. Kesehariannya yang rajin, dan selalu berprestasi di sekolahnya seakan ia pasti masuk di sekolah yang ia inginkan. Tapi Allah berkehendak lain.
Hari-harinya penuh dengan rasa gundah, malu dan tak percaya diri. Hanya bisa berdiam diri merenungkan Mengapa semuanya ini terjadi padanya??. Ginan merasa malu kepada ayah dan ibunya, karena dia tidak bisa memberikan hasil yang terbaik. Meskipun begitu, mereka tak menghiraukannya bahkan tetap mendukung serta membuatnya tersenyum kembali. Dengan rasa berat hati, Ginan harus menerima keputusan bahwa ia harus dipesantrenkan. Ini adalah keputusan yang terbaik. Tak terbayang kehidupannya akan jauh berbeda dari biasanya. Terutama dia akan merasakan jauhnya dari orang-orang yang disayanginya. Meskipun segala kebutuhan terpenuhi tetapi tetap pertama kali berpisah dengan orang tua seakan belum bisa menerimanya. Ketika pamitan, untaian doa dan harapan terus terucap, dan tetes demi tetes air mata terus mengalir
Apa boleh buat, semuanya harus Ginan jalani dan ia pun yakin rencana Allah pasti lebih indah dari rencana manusia. Dengan semangat yang menggelora, ia pun yakin akan Sukses bahkan lebih sukses dari teman-temannya. Meskipun berpisah, mudah-mudahan ketika kuliah nanti ia bisa bersama-sama kembali dengan mereka.
Saat pertama kali menginjakan kaki di Pesantren terasa hambar tanpa kehangatan keluarga dan sahabat. Namun 3 bulan kemudian, rasa hambar berubah menjadi manis. Ginan merasa semakin nyaman hidup di Pesantren, selain banyak teman, dia juga sadar betapa beruntungnya, ia bisa lebih mendekatkan diri kepada yang maha kuasa, mengetahui seluk-beluk hidup dalam kemasyarakan dan tak lupa akan lebih seimbangnya antara kehidupan dunia maupun akhirat.
Suatu hari, Ginan merasa ada yang berbeda dalam tubuhnya, hari-harinya seakan terasa bahwa hidupnya tak akan lama kembali. Senyuman lesung pipinya sudah tak terpancar dari raut wajahnya. Tak ada semangat yang menggebu seperti biasanya. Dia selalu merasakan lemas dan selalu pusing. Ginanpun bertanya-tanya ada apa dengannya? Memang, terkadang Ginan merasakannya ketika ada tugas yang sangat DAHSYAT sampai dia bingung pekerjaan yang mana yang harus ia selesaikan terlebih dahulu? Ketika Ginan tak kuat untuk menahan ingin buang air kecil (BAK). Diapun bergegas kebelakang. Dia terkejut ketika melihat derasan air yang menguning jelas. Timbul pertanyaan kembali darinya, Ada apa dengan saya, kenapa tak seperti biasanya?
Malam yang sunyi,
Berjuta bintang berkedip,
Sinar rembulan yang terpancar indah,
Gemuruh santri yang baru pulang mengaji,
Berbeda dengan Ginan yang terbaring lemah di atas tandu
Badannya sangat panas dan merindukan sosok ibu dan orang-orang yang disayanginya berada disisinya yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, semangat serta belaian tangannya yang penuh kelembutan. Di pesantren, hanya teman-teman dan para pengurus yang membantu dan memberikan perhatian lebih pada dirinya. Ginan hanya bisa mendengarkan suara ibunya di telepon, meskipun begitu dia tetap bersyukur masih bisa mendengarkan suaranya. Lalu, Ginanpun menjelaskan segala bentuk keanehan yang terjadi pada dirinya. Ibunya merasa khawatir dengan apa yang terjadi pada anak bungsunya ini. Beliau menyarankan untuk pergi ke dokter terdekat.
“Nan, coba ke dokter dulu yah, nanti kalau ada apa-apa lagi Insyaallah ibu akan ke sana, ingat jangan kecapean dan jangan sampai kecapean dan jangan lupa makan ya ” pesan ibu
“Iyyah ibu, makasih banget yah ” ucap Ginan
Keesokan harinya, Ginanpun sudah mulai membaik. Diapun sangat semangat untuk sekolah. Harapannya bisa kembali menuntut ilmu dan bertemu kembali teman-teman serta guru-guru yang dicintainya.
Ketika masuk kelas, Ginan disambut dengan penuh keceriaan, sorakan tepuk tangan mewarnai kelasnya, seakan sesuatu yang hilang telah datang kembali. Teman-temannya menanyakan apa yang terjadi pada diri Ginan. Dan Dia menjawab hanya sakit biasa saja.
Pelajaran dimulai dan tak terasa bel pertamapun berbunyi. “It’s time to first break, jreng-jreng-jreng :D”. Ginanpun merasa ada yang “nyut-nyut” di otaknya, badannyapun terasa lemas sekali. Salah seorang temanyapun menanyakan kepadanya “Nan kenapa kamu?, sakit? Pulang ke asrama aja yuk !!” teman yang lainnyapun bertanya kembali “Ginan, kenapa rasanya aku melihat matamu agak kekuning-kuningan, tangan kamupun begitu” sahut Aldi salah satu sahabat dekatnya.”Aku gak kenapa-kenapa kok, emang bener gitu??, perasaan biasa-biasa aja deh, mungkin mataku kena debu jadi kotor” sahut Ginan
Rasa khawatir terus menghatui pikiran Ginan, diapun meminjam cermin pada Ami. Setiap harinya dia tak pernah ketinggalan membawa cermin “angry bird” di tasnya. Ketika bercermin Ginan merasa tak ada yang berbeda dengannya. Lalu Ginanpun menghiraukan perkataan teman-temannya. Dia istirahat sejenak sambil menunggu adzan duhur berkumandang.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi “kepada Seluruh Siswa dan siswi waktunya melaksanaksanakan ibadah salat duhur, diharapkan tidak ada aktivitas lainnya, terima kasih jreng jreng jreng :D”. kami sekelas bergegas ke mesjid. Ketika shalat Ginan dengan khusunya berdoa kepada Sang Maha Kuasa, yang harapannya semoga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada dirinya.
Ketika perjalanan menuju kelas, Ginan bertemu dengan teman ekskulnya. Fikri namanya. Dia melihat dengan penuh tanda Tanya. Hari-harinya yang selalu ceria, tapi untuk kali ini TIDAK. Fikripun menjelaskan gejala-gejala yang Ginan rasakan selama ini. Ternyata SAMA! seperti yang dialami oleh kerabatnya, yakni penyakit LIVER, pertama adanya demam, badannya yang lelah dan lesu, kemudian mata serta tubuhnya yang menguning. Tenyata segala dugaan-dugaan temannya ialah BENAR. Yang paling kaget ketika fikri memberitahukan bahwa penderita liver itu akan cepat memenuhi ajalnya. Ginanpun merasa sedih, tapi ia YAKIN pasti ia akan sembuh. HIDUP dan MATI adalah urusan Allah SWT.
Hari semakin terbakar, arah jarum jam menunjukkan pukul 13.30 dan itu adalah waktunya pulang. Ginanpun langsung pergi ke asrama. Untuk meyakinkan rasa penasarannya. Dia mencoba membuka LKS Biologi yang didalamnya ada bahasan tentang penyakit Liver/Hepatitis. Ketika membuka, detakan jantung begitu cepat dan ternyata memang benar. Penyakit ini disebabkan oleh virus. Ia pun kaget ketika melihat penyakit itu ada tingkatannya, ada A, B C, D, dan E. semakin tinggi tingkatannya maka semakin parah penyakitnya. Ginanpun berharap dia tak sampai separah apa yang ia bayangkan dan semoga hanya gejala biasa saja.
Rasa khawatir terus terngiang di hatinya. Ia mencoba konsultasi kepada pihak kesehatan di Pesantrennya. Dan petugasnyapun sama dengan yang lainnya menganggap Ginan menderita penyakit yang belum pernah dialami sebelumnya, bahkan tak ada keturunan dari keluarganya yang seperti itu. Akhirnya dia diajak untuk pergi ke dokter terdekat.
Hembusan angin malam,
Langit yang tadinya penuh dengan kedipan bintang
Seketika langitpun menangis,
Ginan siap berangkat ke Dokter. Ini adalah pengalaman yang pertama kali, dia keluar komplek dengan mobil mewahnya Pesantren. Sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Sesampainya di Dokter, ia tak sabar menunggu namanya dipanggil. Terdengar suara yang melontarkan namanya “Ginan Agustian”. Iapun dengan segera masuk dan menjelaskan apa yang terjadi dengannya.
Ketika pemeriksaan selesai, setelah menganalisa apa yang terjadi pada pasiennya. Dokter memutuskan bahwa ia Positive menderita penyakit Liver dan menyarankan bahwa ia harus istirahat di rumah. Teringat pesan beliau “Ginan, ingat kalau makan yang teratur, jangan makan yang sembarangan, terutama makanan pedes, Semoga cepet sembuh yah ”
Dalam hatinya perasaan senang dan sedih seakan bercampur aduk. Disisi lain ia senang bisa pulang bertemu kembali dengan keluarga, sayangnya ia pulang dalam keadaan sakit. Kemudian setelah Ginan sampai ke Asrama, dia bergegas untuk menghubungi ibunya dan memberitahukan segala yang terjadi.
“Assalamualaikum bu, ibu kata dokter Ginan posititive sakit liver” ujar Ginan sambil menangis
“Wassalamualaikum, innalillahi Nan, yaudah sekarang Ginan sabar yah, jangan lupa makan obatnya, insyaallah besok ayah dan ibu akan kesana”
“Iyyah ibu, ditunggu yah Mmuah :*” ujar Ginan sambil menyapu tetesan air dipipinya.
Setelah makan ia pun tidur seraya berdoa dia berharap “Semoga Allah memberikan kesempatan untuknya untuk bisa hidup di hari esok, agar bisa melihat orang yang disayanginya serta bisa melihat kicauan burung-burung yang terbang di udara”
Tepat pukul 4.00, Ginan bangun dan bergegas ke mesjid. Ia memanfaatkan 1/3 malam ini untuk bisa curhat bersama Sang Pencipta. Tetesan air matanya membasahi pipinya, sampai orang-orang disekelilingnya bertanya-tanya ada apa dengan Ginan?? Dia pun seraya berdoa “Ya Rab, berilah kesempatan Ginan untuk bisa hidup kembali di hari-hari esok lainnya, janganlah engkau mengambil nyawaku dulu, hamba masih ingin melihat orang-orang yang hamba sayang, hamba ingin menggapai segala cita-cita, hamba ingin membahagiakan orang tua dan semuanya, hamba masih ingin menuntut ilmu dan beribadah kepadamu, hamba ingin pergi ke rumahmu, hamba juga ingin merasakan hari lahirku yang ke 17th, hamba takut akan siksamu Ya Raaaaaab…..”. Ginanpun terus meminta kepada-Nya, berjuta keinginan dan harapan terus ia ungkapkan.
Tak terasa Fajar sidiqpun muncul,
Kicauan burung-burung yang terbang di langit,
Serta Hembusan angin yang menusuk hati
Ginanpun mempersiapkan segala kebutuhan untuk pulang. Tepat pukul 10:15 terdengar bisingnya suara mobil yang mencekang ditelinganya. Saat itupun Ginan melihat plat mobil yang bertuliskan nomor polisi B 1675 DE, dan ternyata suara bising itu bersumber dari mobil ayahnya Ginan. Seketika ayah dan ibunya turun dari mobil dan menghampirinya. Lalu, ibunya langsung menghabur pelukannya, kecupan pipinya, belaian tangannya seakan tak ingin berpisah kembali. Setelah itu, teringat pada sepucuk surat yang akan diberikan kepada teman-temannya.
Selama di rumah, Ginan mendapatkan perawatan yang intensif. Sebenarnya Dokter menyarankan Ginan untuk dirawat di Rumah Sakit, tetapi ia tetap enggan untuk melakukan itu. Dengan perlahan, senyum itu menghiasi wajah Ginan dan senyum itu pula yang bisa menghapuskan hari-harinya yang suram.
Tak terasa satu bulan pun berlalu, kesehatan Ginan sudah mulai membaik. Dokter mengatakan bahwa Ginan telah dinyatakan sembuh total. Segala rintangan dan perjuangan dilalui Ginan dengan Ikhtiar dan Doa. Kebersamaan, perhatian , dan kasih sayang yang ia rasakan seolah-olah tak ingin melepaskan semua hal itu, tetapi apa daya Ginan tak bisa melepaskan kewajibannya.
Ketika kembali ke kota santri, Ginan berfikir bahwa masa lalunya itu membuahkan pelajaran baginya untuk dimasa depan.
Sebelumnya Ginan merasa pesimis, apakah ia masih bisa mewujudkan sejuta harapan untuk hari lahirnya nanti??. Lima bulan kemudian waktupun menjawabnya, tepatnya ketika dia duduk dikelas XI, berbagai kejutan dari keluarga, orang-orang yang disayanginya bahkan salah seorang yang katanya orang yang special dihatinya. Semuanya kejutan itu berangsur terus menerus sampai Ginan merasa heran dan merasakan kebahagian yang mendalam. Seseorang itu membawakan sebuah kue dan bingkisan yang dikemas indah. Hal yang tak terlupakan, saat ia memberikan senyuman manisnya. Di hari bahagianya yang ke 17th ini Ginan mencoba mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam pada perempuan yang sering disebut “Ay” ini.
“Ay, kali ini adalah waktu yang tepat untuk aku ungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan padamu, ay bukan sekedar sahabat yang selalu menghiasi hari-hariku penuh warna, melainkan semua perhatian, kasih sayang dan kepedulianmu itu membuatku menyadari satu hal bahwa aku berharap aku bisa menjadi orang yang special dihatimu” ujarnya sambil bertatapan wajah satu sama lain
Perempuan yang ia cintainyapun hanya menganggukan kepala saja. Berbagai sorakan tepuk tangan dan ucapan selamatpun mewarnai hari bahagianya. Berjuta harapan yang ia tuliskan dulu menjadi sebuah saksi bisu perjalanan yang takkan terlupakan sepanjang hidupnya. Ginanpun terus melangkahkan kaki untuk mewujudkan segala mimpi-mipinya yang ingin menjadi seorang Jurnalistik serta Guru Bahasa Inggris yang Professional dan bermoral. Rasa syukur terus ia panjatkan atas segala kenikmatan yang tak pernah padam kepada-Nya.
Terima kasih Ya Rab,
Terima kasih Ayah Ibu
Terima kasih Orang-orang yang selalu membuat Ginan tersenyum