![acep](https://asset.uinjkt.ac.id/uploads/sRLHqoTO/2016/10/acep-200x300.jpg)
Diangkat dari Kisah Perjuangan Pahlawan Nasional Assyahid KH, Zainal Musthafa
Oleh : Acep Lukman Nul Hakim ( 11150161000018 / Mahasantri Ma'had Syeikh Nawawi / Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan)
Pepohonan melambai-lambai, rerumputan hijau nampak asri, kicauan burung-burung selalu menghiasi langit-langit di tanah Sukamanah. Satu kampung dengan lingkungan yang penuh dengan kegemuruhan ayat-ayat suci ini masih kental akan kehidupan penjajahan yang kian mengintai.
Musthafa merupakan sosok pemuda tampan yang penuh kesederhanaan. Ia tinggal di gubuk kecil yang jauh dari keramaian. Hanya ibu dan bapaknya yang setia mendampinginya. Pemuda berkulit sawo matang dan bermata sipit ini tak pernah lelah mengabdi kepada Illahi. Tak jarang, banyak orang yang mengagumi akan sifatnya. Bahkan, kaum hawapun banyak menarik hatinya.
Nawafi, seorang motivator pribadi Musthafa yang tak pernah lelah mencari sesuap nasi di tanah agraris dan menjadi tulang punggung keluarga. Didampingi sosok Ratmah, perempun tangguh yang tak pernah lepas akan kelembutannya.
Sejak di bangku sekolah ia sangat gemar membaca. Berbagai tempat ia jadikan tempat bacaan bahkan di atas tunggangan kuda putih kesayangan Musthafa. Selain menghabiskan waktunya dengan teman-teman di sekolah, kuda putih pun menjadi teman yang tak pernah lepas dari hidupnya. Ia selalu dibawa kemana-mana.
“Ibu, ibu bolehkah Musthafa meminta izin untuk bermain bersama si kuda?” kata Musthafa sambil mengerlus-elus ibunya.
“Iya, boleh Nak, hati-hati di jalan jangan terlalu lama takut si penjajah datang” ujar Ibu sambil mengeluskan tangan.
“Iya makasih bu, Musthafa tidak akan pulang terlalu lama, Musthafa hanya mencari pakan untuk si kuda” ucap Musthafa sambil salam.
Musthafa dengan kudanya terus mengitari pesawahan sambil mencari rumput. Tiba-tiba ia melihat sosok lelaki perawakan tinggi, membawa sebuah senjata, dan memakai helm sedang memarahi salah satu warga yang tak berdaya. Terlintas dalam benak pikirannya, bahwa dialah penjajah yang dimaksud ibu yang selalu meminta upah dengan paksa, memberikan siksaan kepada warga yang tidak mematuhi keinginannya. Rasa kesalnya terhadap sikap mereka. Musthafa pun bertekad, ia ingin memberantas seluruh penjajah yang menghantui bumi ini kelak. Setelah itu, Musthafa melanjutkan perjalalannya ke rumah.
Sang surya pun menutupi bumi, rembulan dan bintang-bintang di langit pun kembali. Musthafa pergi mengaji bersama teman-temannya. Ia tak pernah lelah, walaupun dari pagi ia harus mencari ilmu di Sekolah dan mencari pakan untuk si kuda. Walau sebatas lentera yang mudah padam diterpa angin, namun hatinya tak pernah luluh dan tetap semangat mengitari gemerlapnya malam sambil melantunkan syair-syair syahdu.
“Ta allam fainnal ilma jainun liahlihi ...” ujar Musthafa bersama teman-temanya dengan penuh semangat sambil menghafal.
Tatkala sampai, Musthafa segera masuk dalam ruangan sebatas papan dan berkayu bilik. Namun, ia tak pernah menghiraukannya. Musthafa segera membuka Al-Quran dan kitab-kitabnya. Dengan penuh rasa gigih ia dijuluki sebagai santri yang berprestasi. Tak heran teman-teman beserta guru sangat mengagumi keuletannya. Bintang-bintang di langit mulai menutupi malam, gemercik hujan mulai turun, Musthafa bersama teman-temannya melanjutkan perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, Musthafa yang masih mengenakan pakaian basah, ia mencoba menghangatkan badannya sambil memikirkan keinginan untuk menimba ilmu di Pesantren seluruh pelosok negeri. Harapan kecilnya, ia dapat diberi izin oleh kedua orang tuanya. Dengan penuh rasa bahagia, keinginannya pun tercapai. Hanya berbekal seadanya, Musthafa yang mengenakan jubah putih dan sorban hitam bergegas berpamitan dan melanjutkan perjalanan tanpa didampingi si Kuda. Terngiang dalam telinganya seucap kata “hati-hati” yang menjadi pesan dari kedua orang tuanya.
Keinginan hatinya yang ingin menjadi sosok Kiai Besar dan berusaha mengusir para penjajah. Ia tak pernah lelah walau gentar telah datang, panasnya alam, sampai kaki yang mulai rapuh. Musthafa pun mencari ilmu ke Pesantren Gunung Pari. Berbagai rintangan ia tempuh. Pesawahan yang selalu ia lewati seakan menjadi penyejuk hati, senyuman dan sapaannya yang tak pernah terlewatkan tatkala melewati rumah-rumah para penduduk. Di pesantren Gunung Pari ia menimba ilmu sedalam-dalamnya. Karena rasa cintanya terhadap ilmu ia melanjutkan kembali berpetualang ke Pesantren Cilenga Leuwisari, kemudian daerah yang amat dingin di Sukaraja Garut lalu terakhir sampai ke daerah Sukamiskin Bandung. Dengan kegigihannya, banyak pengalaman serta ilmu yang ia dapatkan dari guru-gurunya.
Setelah Musthafa memiliki ilmu yang mapan, ia pun kembali ke kampung halamannya di Sukamanah. Dengan penuh rasa syukur ia dapat bertemu dan menatap wajah kedua orang tuanya kembali. Bahkan si Kuda kesayangannya. Teh pahit yang dibawakan oleh ibu telah terpana kedua bola matanya. Teh pahit yang tertuang dalam sebuah batok kecil tak pernah lepas dibuat oleh ibunda tercintanya dan menjadi obat rindu.
Dengan berbagai ilmu yang ia miliki, ada salah satu perempuan berkulit putih yang tertarik terhadap sikapnya. Ia merupakan seorang janda kaya yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat, yakni Hj. Juariyah. Tepat tahun 1927, beliau tak segan-segan memberikan tanah wakaf dan mesjid. Ia pula menghajikan Musthafa dan kakanya Muhsin ke Tanah Suci.
“Musthafa, kemarilah! Sebagai bentuk kepedulianku terhadapmu yang tak pernah lepas menegakan Al-Islam, maka jagalah Pesantren ini dengan baik!” ujar Hj.Juariyah.
“Terima kasih bu, semoga Allah memberikan kebaikan yang lebih bagimu, Amiin” ujar Musthafa.
Musthafa pun menjalankan amanat yang disampaikan Hj. Juariyah. Ia terus mengembangkan Pesantren yang sering ia sebut sebagai Pesantren Sukamanah. Banyak sekali santri yang ingin menggeluti jejak langkah Musthafa. Dengan sekitar tujuh ratus kepala ia terus menanamkan semangat jihad fi sabiilillah.
Tak lepas dari kesehariannya yang tak pernah putus beribadah. Musthafa pun tak mementingkan siapa yang akan mendampingi hidup dan matinya. Musthafa hanya berfikir hanya satu cinta pada dzat yang Maha Kuasa, yang tak pernah lepas memberikan kekuatan dan kenikmatan padanya.
Meskipun banyak sekali kaum hawa yang mengagumi Musthafa, tapi ia pun tetap menghiraukannya.
Suatu hari, kedua orang tua Musthafa memperbincangkan tentang sosok yang pantas untuk Mushtafa.
“Nak, kemarilah, ibu ingin berbicara padamu” ujar ibu.
“Iya, ada apa ibu” ucap Musthafa sambil penuh kebingungan.
“Nak, sebenarnya ibu ingin berbicara bahwa usiamu itu sudah pantas untuk menjalankan ikatan yang lebih dalam lagi” ujar ibu.
“Benar sekali Musthafa, bapak rasanya sudah tak sabar ingin menggendong cucu darimu” kata bapak sambil menuturkan senyum diakhir perkataanya.
“Musthafa hanya bisa serahkan saja kepada Allah dan ibu, bapak” kata Musthafa.
“Baiklah, jika itu yang terbaik ibu akan pilihkan seseorang untukmu nanti” ujar ibu dengan penuh bahagia.
“Nak, bagaimana jika engkau kami pasangkan dengan sosok perempuan kerabat bapak?” ujar Bapak.
“Dengan siapa pak?” mata Musthafa menyelidik.
“Ia adalah Enoh, sosok bunga desa yang sangat peduli sekali terhadap Al-Islam, sama halnya denganmu. Nah, bagaimana Musthafa?” ujar Bapak.
“Baiklah, jika itu memang yang terbaik Musthafa setuju, kapan ikatan tersebut dilaksanakan pak?” ujar Musthafa.
“Secepatnya Nak, makasih Musthafa engkau anak yang baik” ujar Bapak dan Ibu dengan tersenyum bahagia.
Diceritakan, Musthafa dan Enoh pun melanjutkan ikatan yang tak pernah mereka idamkan sebelumnya. Walaupun mereka sedikit malu awalnya, seiring waktu mereka pun menjalankan hubungan dengan baik. Para santri dan keluarga terdekat pun sangat antusias sekali. Harapan mereka pun terurai mesra dengan lembaian sayap-sayap asmara yang terbang mengililingi alam semesta. Seiring berjalannya waktu, Anda dan Encin pun hadir menghangatkan kebersamaan mereka. Pertalian harmonis terjalin kuat diantara ketiga istrinya sebagai bentuk sunatullah illahi.
Musthafa menjalankan hari-harinya seperti biasa. Meskipun telah menjadi tulang punggung keluarga. Ia tetap berjuang sekuat tenaga menegakkan kalimat tauhid bersama para santrinya. Tak hanya itu, Musthafa juga aktif dalam wadah organisai Nahdlotul Ulama. Ia memulainya sejak tahun 1933. Musthafa adalah pemimpin yang menjunjung tinggi terhadap keadilan disertai sifat rendah hati dan taat kepada Sang Pencipta, maka banyak orang yang bersimpati padanya. Namun tidak demikian dengan Belanda, Musthafa sangat membenci terhadap para penjajah yang senantiasa melakukan tindakan anarkis dan hanya mementingkan kehidupan dirinya saja.
Musthafa pun berbincang-bincang dengan para santri di depan mesjid.
“Hei santri-santriku, mari kita sama-sama tegakkan negeri ini dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah, kita jangan terkalahkan oleh tangan-tangan para penjajah” ujar Musthafa dengan suara lantang
“Maju terus Abah.. maju maju majuuuuuuuu !!” ucap salah satu santri dengan penuh semangat.
“Semangat Allahu Akbar!” salah seorang santri menggelorakan.
“HEY MUSTHAFA! Turunlah kau! Jangan sekali-kali kau menghasud mereka atau kau akan kami bunuh!” ujar salah saeorang penjajah dengan lancang yang tidak sengaja mendengar perkataan Musthafa.
Musthafa dan para santri pun membiarkan perkataan para penjajah terhadap mereka. Namun, senggang waktu beberapa hari, Musthafa dan KH. Ruhiyat ditangkap dan dipenjara di Tasikmalaya, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Sikap mereka pun luluh. Akhirnya mereka pun dibebaskan. Sikap tentara Belanda pun semakin menjadi-jadi terhadap sikap Musthafa. Ia apun di penjara kembali di daerah Ciamis. Pengaruh para penjajah Kolonial Belanda semakin menurun sejak kehadiran tentara Jepang. Sehingga, Belanda pun menyerah. Musthafa pun dibebaskan dari jeruji besi oleh salah seorang tentara Jepang. Tak lain, sikap mereka memanfaatkan waktu emas di tengah gempurnya masa penjajahan ini hanya ingin menarik simpati hati Musthafa.
Teriknya matahari menyinari hari-hari Musthafa. Janji-janji yang dikemukakan Jepang semakin tak membuatnya percaya kembali. Sikap mereka sama seperti halnya Belanda yang ingin merusak negeri ini. Siksaan demi siksaan mereka lakukan tatkala tak mengerjakan sesuai dengan keinginan mereka, pemberian upah dengan paksa dan menjadi romusha-romusha Jepang yang melarat.
Tindakan penjajah Jepang semakin merajalela, tatkala mereka memerintahkan untuk bersujud ke arah Tokyo. Musthafa dengan tegasnya melarang masyarakat untuk sujud padanya. Hal ini membuat tauhid mereka semakin melemah. Dengan penuh rasa takut, ancaman serta pakasan, mereka pun tetap bersitegas bersujud. Hanya Musthafalah yang tetap mempertahankan ketauhidannya. Tentara Jepang pun semakin kesal dengan sikap yang dilakukan oleh Musthafa.
Mereka kebingungan satu orang temannya tidak ada dan mereka Tepat hari Kamis, 24 Februari 2014, para tentara Jepang memiliki siasat buruk untuk menangkap Musthafa dan para santri. Tak ada seorangpun yang mengetahui siasat mereka. Detik demi detik para tentara Jepang mencoba mengamankan situasi di sekitar Pesantren. Keheningan malam hanya suara burung-burung yang berterbangan, suara kuda kesayangan Musthafa serta ada santri yang sedang patrol malam. Sedangkan Musthafa dan para santri sedang mengaji di dalam Mesjid. Tiba-tiba, kedua orang santri yang sedang patrol itu menemukan jejak langkah mereka. Satu regu pasukan tentara Jepang merasakan panik, merekapun kepergok dan dikejar kedaerah pesawahan. Ternyata, mereka terjatuh di bawah bolu-bolu lezat sisa kuda Musthafa. Merekapun semakin kesal terhadap kejadian tersebut dan menjadi tawanan masyarakat Sukamanah.
Hari selanjutnya, semua tawanan tentara Jepang dibebaskan. Namun, senjata mereka tetap menjadi rampasan. Kira-kira pukul 13:00 datang empat orang kompetei Jepang yang ingin membebaskan mereka. Para santri dan masyarakat setempatpun sedang berkumpul di halaman mesjid. Dengan persenjataan yang lengkap, pakaian yang gagah, disertai helm yang tak pernah lepas dari kepalanya, para kompetei Jepang memaksa untuk mengembalikan senjata mereka yang akan mereka gunakan. Mendengar berita itu, telinga istri-istri Musthafa “Hei, kembalikan semua senjata kami, atau kau akan mati sekarang juga!” ujar juru bicara saat menerjemahkan pembicaraan tawanan Jepang.
“Musthafa segera menyerahlah kau HAH!” ujar salah satu kompetei dengan gagah
“Hei kami tidak akan takut dengan senjata yang anda bawa! Kami rela mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai Allahu Akbar!” ujar salah satu santri dengan penuh semangat.
“Ahrgd, cepatlah! Kembalikan senjata kami dan segera bebaskan teman kami hah ! ” ujar para kompitai Jepang dengan kesal.
Dengan semangat juang serta suara takbir menggema di tanah Sukamanah, para santri dan masyarakat pun langsung menyerang para kompetei tersebut. Mereka pun mencoba melawan, namun tak terkendali. Akhirnya mereka lari dengan rasa gugup layaknya dikejar seekor anjing hutan. Para kompetei tersebut, merasa kebingungan arah kemana yang akan mereka tempuh. Hari semakin sore, awan hitam pun mulai tampak. Masyarakat terus mengejar para kompetei sampai kehilangan jejak langkah mereka. Tiga orang kompetei dan juru bicaranya lari ke daerah pesawahan dan tidak menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah dipenuhi lumpur yang sangat menjijikan.
Delapan puluh enam santri dikebumikan dalam satu lubang besar. Mereka para syuhada yang rela melakukan apapun demi Al-Islam.
Keesokan harinya, para santri melaksanakan kegiatan kebersihan di halaman pesantren sambil menghafal tasrifan.
“Fa’ala yafulu fa’lan wa mafa’lan fahuwa fa ilun .....“ujar para santri dengan penuh semangat.
Tiba-tiba para pasukan Jepang datang kembali, para santri merasa ketakukan apa yang akan mereka lakukan kembali setelah mereka menangkap kiainya. Seluruh santri langsung berkumpul dan tentara Jepang pun segera membawa seluruh santri ke mobil dengan penuh siksaan dan paksaan. Sekitar tujura ratus kepala santripun dibawa. Mereka langsung dipenjarakan di Tasikmalaya. Mereka hanya bisa pasrah dengan keadaan yang menimpanya saat ini.
Sebelum ditahan Musthafa sempat memberi intruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang dan semua kejadian yang telah terjadi dipikul oleh Musthafa saja. Setelah kabar tersebut disampaikan, ternyata terdengar oleh tentara Jepang. Akhirnya dua puluh tiga orang santri dianggap bersalah dan Musthafapun di bawa ke Pengadilan Jakarta. kemudian, Musthafa di penjara di Tasikmalaya, lalu dipindahkan kembali ke penjara Cipinang seakan khawatir, mereka dibalut rasa gentar yang menggetarkan hati. Terurai tetesan air mata anak-anak yang masih kecil.
Suara peluru pun mulai terdengar, rentetan mobil tempur mulai berdatangan. Gemuruh angin kian cepat. Suasanapun semakin membara. Para pasukan Jepang dengan siapnya membentangkan senjata ke penjuru langit. Musthafa dan para santri pun dengan penuh takbir, penuh rasa tawakal, dan pedang bambu di tangannya telah siap menghadapi perlawanan Jepang. Pertempuran pun terjadi. Pedang bambu terus ditancapkan pada tentara Jepang, tanah pun berubah menjadi berlumuran darah, peluru tentara Jepang pun terus ditembaki kearah para santri. Santri yang masih ragu dan takut akhirnya tertembak. Sedang yang lainnya, terluka parah. Ketika peluru mengarahkan pada Musthafa, peluru tersebut seakan tak tertancap sedikitpun, dan ditubuhnya seakan ada baju besi yang menahan peluru-peluru yang mengarah padanya. Padahal ia hanya manusia biasa seperti halnya yang lain. Dengan kekuatan dan benteng pertahanan yang lengkap, Tiga puluh satu truk tentara Jepang berhasil menaklukan perlawanan para santri sukamanah. Tiba-tiba dengan sendirinya Musthafa diculik dan dibawa oleh tentara Jepang. Para santripun tidak bisa berbuat apa-apa.
Tanah Sukamanah tinggal puing-puing belaka yang penuh berlumuran darah. Para santri merasa kehilangan yang amat dalam akan sosok pemimpin yang biasa menemani, memberikan arahan, dan menanamkan jihad kejujuran dan berfikir bahwa temannya tertangkap oleh masyarakat. Ternyata satu orang lainnya berhasil melarikan diri dan memberitahu kejadian yang telah menimpanya pada pihak Jepang.
Layung mulai tampak, langit pun berubah menjadi orange keemasan. Tanah Sukamanah telah hening kembali semenjak pertempuran kecil terjadi. Adzan ashar pun berkumandang, para santri melaksanakan shalat berjamaah seperti biasa. Setelah itu, mereka melakukan patroli kebersihan di halaman mesjid sambil bershalawat.
“Subhanallah Walhamdulillah walaa ilaa ha illallah” kata para santri sambil menyapu.
Tiba-tiba Musthafa merasakan sesuatu yang aneh. Ia pun segera mengumpulkan para santrinya di mesjid. Musthafa pun mengungkapkan apa yang ia rasakan. Ternyata, ia merasakan para tentara Jepang akan kembali melakukan perlawanan ke Sukamanah. Kemudian posisi sekarang mereka sudah berada di daerah Singaparna. Musthafa pun mengeluarkan perintah agar tidak melakukan perlawanan terlebih dahulu sebelum musuh memasuki arena perlawanan. Setelah mengetahui kabar tersebut, Musthafa bersama para santrinya menyiapkan persenjataan selayaknya yang disimpan Mustasfa di mesjid. Hanya pedang bambu, bambu runcing dan senjata sederhana lainnya yang akan mereka gunakan. Mendengar berita itu, telinga istri-istri Musthafa “Hei, kembalikan semua senjata kami, atau kau akan mati sekarang juga!” ujar juru bicara saat menerjemahkan pembicaraan tawanan Jepang.
“Musthafa segera menyerahlah kau HAH!” ujar salah satu kompetei dengan gagah.
“Hei kami tidak akan takut dengan senjata yang anda bawa! Kami rela mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai Allahu Akbar!” ujar salah satu santri dengan penuh semangat.
“Ahrgd, cepatlah! Kembalikan senjata kami dan segera bebaskan teman kami hah! ” ujar para kompitai Jepang dengan kesal.
Dengan semangat juang serta suara takbir menggema di tanah Sukamanah, para santri dan masyarakat pun langsung menyerang para kompetei tersebut. Mereka pun mencoba melawan, namun tak terkendali. Akhirnya mereka lari dengan rasa gugup layaknya dikejar seekor anjing hutan. Para kompetei tersebut, merasa kebingungan arah kemana yang akan mereka tempuh. Hari semakin sore, awan hitampun mulai tampak. Masyarakat terus mengejar para kompetei sampai kehilangan jejak langkah mereka. Tiga orang kompetei dan juru bicaranya lari ke daerah pesawahan dan tidak menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah dipenuhi lumpur yang sangat menjijikan. Mereka kebingungan satu orang temannya tidak ada bersama mereka. Tepat hari Kamis, 24 Februari 2014, para tentara Jepang memiliki siasat buruk untuk menangkap Musthafa dan para santri. Tak ada seorangpun yang mengetahui siasat mereka. Detik demi detik para tentara Jepang mencoba mengamankan situasi di sekitar Pesantren. Keheningan malam hanya suara burung-burung yang berterbangan, suara kuda kesayangan Musthafa serta ada santri yang sedang patroli malam. Sedangkan Musthafa dan para santri sedang mengaji di dalam Mesjid. Tiba-tiba, kedua orang santri yang sedang patroli itu menemukan jejak langkah mereka. Satu regu pasukan tentara Jepang merasa panik, merekapun kepergok dan dikejar ke daerah pesawahan. Ternyata, mereka terjatuh di bawah bolu-bolu lezat sisa kuda Musthafa. Merekapun semakin kesal terhadap kejadian tersebut dan menjadi tawanan masyarakat Sukamanah.
Hari selanjutnya, semua tawanan tentara Jepang dibebaskan. Namun, senjata mereka tetap menjadi rampasan. Kira-kira pukul 13:00 datang empat orang kompetei Jepang yang ingin membebaskan mereka. Para santri dan masyarakat setempat pun sedang berkumpul di halaman mesjid. Dengan persenjataan yang lengkap, pakaian yang gagah, disertai helm yang tak pernah lepas dari kepalanya, para kompetei Jepang memaksa untuk mengembalikan senjata mereka.
Mereka tidak ingin seorang pun yang mengetahui keberadaan Musthafa, Setelah kejadian tersebut, segala informasi mengenai Musthafa hilang ditelan waktu.
Beberapa tahun kemudian, kabar miring di luar sana muncul ke tanah Sukamanah, bahwa Jenazah Musthafa meninggal karena dipenggal oleh tentara Jepang. Para santripun dan masyarakat sangat sedih akan berita tersebut. Tetapi, mereka yakin bahwa berita yang beredar itu adalah bohong dan mereka akan terus mencari kebenaran mengenai berita Sang Kiainya. Rasa penasaran mereka berbuah hasil, seiring berjalannya waktu ada seseorang yang mengetahui berita tersebut. Bapak Nugraha namanya. Beliau merupakan Kepala Pusat Sejarah ABRI. Tepat tanggal 23 Maret 1970 beliau menemukan data dari kepala Taman Pahlawan Belanda Ancol bahwa Musthafa dihukum mati oleh pihak tentara Jepang pada tanggal 25 Oktober 1944 dan segera dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Ketika kabar tersebut sampai pada keluarga di Sukamanah, para santri dan masyarakat merasa lega dan antusias sekali mendengarnya.
“Ya Allah, alhamdulillah akhirnya diketemukan jenazah bapak kiai” kata salah satu santri sambil menghelakan nafas.
“apa! Dimana?” ujar salah satu santri.
“di Ancol, hatur nuhun bapa hayu atuh urang ka Ancol” dengan polos sambil menatap bapak Nugraha.
Tepat tanggal 25 Agustus 1973. Keluarga dan para santripun bergegas menuju Makam Pahlawan Belanda di Ancol. Sesampainya di sana, Terlihat banyak sekali makam-makam yang terlihat rapih dan pepohonan yang rindang. Setelah itu, mereka dengan dibantu petugas pemakaman, jenazah Musthafa bersama tujuh belas santrinya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah. Mereka sangat terkejut saat melihat tubuh jenazah yang masih utuh dan semerbak aroma yang sangat harum. Rasa syukur meraka terus terucap selama di perjalanan.
Langkah demi langkah proses pemakaman berlangsung, para santri begitu sedih dan kagum melihat sosok pemimpin yang mereka idamkan. Langit menjadi saksi perjuangan, tetesan darah yang masih tergores, baju putih dan sorban yang selalu Musthafa gunakan masih terpakai olehnya. Bahkan posisi ajal yang sangat mulia dalam keadaan sujud.
Fuad Muhsin sebagai menantu Musthafa menjadi penerus kepemimpinan Musthafa setelah wafat, merasa sedih atas kehilangannya. Muhsin tetap yakin akan dzat yang telah memberikan ia hidup dan mati bahwa Musthafa dan para santrinya akan ditempatkan di atas singgasana langit Surga Illahi.
Pesantren Sukamanah semakin maju dibawah pimpinan Kiai Fuad Muhsin. Beberapa sarana pendidikan dengan dibuatnya sekolah-sekolah berbasis Islam terus ia kembangkan sampai ajalnya menjemput. Kini ia memandatkan kepemimpinannya pada kiai A. Thahir Fuad.
Sepeninggalnya Musthafa, penjajahan di tanah yang penuh berlumuran darah ini pun mereda. Kini perjuangan Musthafa bersama para santrinya terus terkenang takkan pernah ditelan waktu. Musthafa merupakan sosok Pahlawan Nasional yang rela berjuang mengorbankan jiwa raganya demi Al-Islam. Mereka menjadi saksi bisu lahirnya para santri yang menjunjung tinggi jihad fiisabilillah.
Naskah asli ditulis oleh KH. Moh. Fuad Muhsin (Alm) tahun 1996
Direvisi oleh Hirni Kifa Hazefa, S.Pd (Salah seorang cucu KH. Zainal Musthafa) pada tanggal 16 Maret 2010
Disahkan oleh Musyawarah Keluarga Besar Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa pada hari Jumat tanggal 2 April 2010 M/ 17 Rabiul Akhir 143 H
Dibuat cerpen oleh Acep Lukman Nul Hakim (salah seorang santri Mutawasitoh 1 pada tanggal 15 November 2014)