CERPEN : Mama dan Gejolakku
CERPEN : Mama dan Gejolakku
Oleh : Vini hidayani - Mahasantri Ma'had Syarifah Muda'im (FAH-Bahasa dan Sastra Arab 2016) Aku sedang menyisiri rambut lurus adik perempuanku yang kini telah beranjak remaja. Dia mempuyai mata yang bulat dengan alis tebal. Ditambah dia juga berparas cantik dengan kulit khas Asianya. Namanya Karina. “Kak, kemarin di kelas Karina dapet bunga dari Aldi!” kata Karina yang membuyarkan lamunanku. “Wah.. sudah besar rupanya adikku, kamu tetap jaga pergaulan, dan rajin belajar ya!” sahutku kemudian sambil tersenyum ke arahnya. Di sore hari, aku sering menghabiskan waktuku di bawah pohon belakang rumah, di sana aku sering kali melamun, aku menyesal karena telah dilahirkan, dan menyesal mengapa aku harus lahir dari orang yang kini kupanggil mama. aku tidaklah secantik Karina, aku mempunyai mata sebelah kiri sipit, dan sebelah kanannya besar, gigiku juga tidak serapi Karina. Bahkan dulu saat SMP, teman-temanku menjulukiku sebagai “Pembantu Cinderella”. Aku tidak apa dilahirkan jelek, toh Tuhan pun tidak akan menghukumku karena itu. Tapi aku seringkali sedih saat mama selalu membandingkan aku dengan Karina, dan menceritakan padaku tentang Karina yang jadi primadona sekolah, bahkan mama lebih sering membeli perlengkapan baru untuk Karina. Aku tidak pernah protes soal itu, namun aku hanya sering berpikir, bukankah aku ini juga anaknya, anak yang lahir dari rahimnya. Sama halnya seperti Karina, dia juga lahir dari rahim mama, lalu apa yang yang membuat kami berbeda? Biasanya sesudah berpikir sampai di sana, aku akan buntu dan kembali menyadari bahwa ternyata kami ini memang berbeda... Kejadian bertahun-tahun itulah yang kemudian jadi pendorongku, aku mulai sering membawa piala-piala prestasiku ke rumah, aku mulai mengikuti banyak olimpiade dari sekolah, dan hasilnya sungguh membanggakanku sendiri, aku juara 1 olimpiade fisika tingkat nasional. Dan saat itu pertama kalinya aku melihat mama tersenyum kepadaku. Sebenarnya impianku sungguh sangat sederhana, aku hanya ingin mama menyayangiku sama seperti sayangnya pada Karina, lalu aku ingin setiap waktu senggangku kugunakan untuk sekedar bercerita pada mama. Bahkan belajar dan usahaku selama ini itu juga semua karena mama dan untuk mama. dan tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu. *** Semilir angin menerbangkan rambutku di bawah pohon belakang rumah, dan seperti biasanya, aku sedang melamun panjang. Suara mama yang memanggil membuyarkan lamunanku. Segera aku berdiri menghadapnya di teras belakang. “Rahmah, kamu kan sudah tamat SMP, jadi mama ingin kamu melanjutkan sekolahmu ke pondok pesantren, bagaimana menurutmu?” Tanya mama langsung. Kata-kata mama langsung menghentak dadaku, aku bahkan tidak sanggup lagi menopang tubuhku dengan kedua kakiku, aku melihat mama dengan mata berkaca-kaca. Inikah yang mama inginkan, mama ingin jauh dariku, padahal aku tidak bisa jauh darinya. Apa maksud mama mengirimku ke pondok pesantren, mama ingin aku mandiri atau ingin membuangku dengan dalih untuk memperdalam ilmu agamaku? Ya memang, Bagiku pesantren bukanlah sebuah masalah, dan itu juga bukan suatu hal yang buruk, tapi aku hanya ingin tau apa alasan mama membawaku ke tempat itu, bukankah aku anak yang baik, anak yang selalu menurut orang tua, bahkan aku tidak pernah keluar malam atau membuat mama dipanggil oleh guru BK di sekolahku. Lalu apa alasannya? Semua pertanyaan yang menyarang di otakku kutahan sampai di tenggoorokan, aku tidak sampai hati membuat mama sedih dengan seribu macam pertayaanku yang ingin memprotesnya, tapi jelas dari mataku, aku tidak ingin kesana! “Kenapa tiba-tiba mah?” Tanyaku pelan “Ini gak tiba-tiba, lagipula kamu sudah besar, jadilah anak yang mandiri!” Kata mamaku singkat. Aku hanya megangguk pelan, semoga dengan ini, mama akan lebih menyayangiku, pikirku. Namun lepas dari itu semua, sungguh, aku sangat ingin mendengar mama mengatakan “mencintaiku” sebelum berpisah dengannya. *** Daun-daun di belakang rumahku mulai berjatuhan, rantingnya juga banyak yang patah, mungkin usia yang sudah senja membuat dia tak seindah dulu saat sering kupeluk batangnya ketika sedih. 3 tahun berlalu masaku di pesantren, dan bisa ku hitung berapa kali kunjungan orangtuaku ke pondok, mereka lebih sering men-transfer uang, daripada menyerahkannya langsung. Padahal sangat sedih rasanya dimana aku melihat orangtua teman-temanku sering berkunjung. Mereka teman-temanku tidak dibuang orangtuanya ke pondok, tapi ditiitipkan pada kyai, tapi aku dibuang! Aku merasa dibuang! Pernah suatu waktu aku ingin sekali bertanya mengapa hanya aku yang di-pondokkan, mengapa Karina tidak, bukankah ilmu agama itu wajib dituntut semua orang, termasuk Karina. Lalu apa aku orang yang beruntung karena termasuk dari salah satu yang memperdalam ilmunya dalam pondok pesantren, atau aku adalah orang yang sangat menyesal karena harus dilahirkan dari seorang perempuan yang tidak pernah menganggap aku ada? Ah.... mama, tetap saja, kau adalah orang yang sangat kusayangi. *** “Mama, hari ini bagaimana kabarnya, apa mama sehat, jangan lupa jalan-jalan keluar sebentar ya agar kaki mama tidak kaku saat malam. Disini, di tulisan ini, maaf jika aku harus menumpahkan semua keluh kesahku selama ini. Mama.. apa pernah mama bertanya apa cita-citaku? Apa impian terbesar dalam hidupku, seperti apa pekerjaan yang kuinginkan, dan dengan siapa sekarang aku dekat? Walaupun mama pasti sudah menerka apa jawabanku, aku sebenarnya sangat ingin mendapat pertanyaan itu, tidak apa jika mama ingin menanyakan hal yang sama seribu kali, aku akan tetap akan menjawabnya, karena aku sayang mama.. Mama, banyak sekali puisi dan tulisanku yang kutujukan untuk mama, aku menulisnya saat masih di pondok, namun karena aku tidak punya keberanian, tulisanku hanya sampai di tangan media massa dan media online. Dan alhamdulillah, dengan uang honor itu aku menabung, dan tiap kali mama lupa men-transfer uang, aku masih punya pegangan. Mama sayang padaku kan bagaimanapun aku? Oh ya.. mama tahu, impian dan cita-cita terbesarku hanya satu, yaitu mama menyayangiku sama seperi sayangnya mama untuk Karina. Lalu mama akan selalu menyakan apa kegiatanku hari ini, sama seperti Karina. Mama...aku sungguh menyayangimu.” Sudan, 12 november 2015 Rahmah Novia *** Aku mengubah pondok yang semula jadi tempat pembuangan jadi tempat bertumpu, dan dari sana aku memulai tujuan baru, dan ingin lebih mendalami Islam, karena Islam tidak membedakanku dengan yang lain, aku sama saja dengan mereka yang kulit putih, mata biru, rambut pirang, bertubuh ideal, dan cantik bak barbie, karena pembedanya hanya ketakwaan di mata Allah. Aku menitip surat untuk mama pada seniorku yang akan kembali ke Indonesia, dan aku sekarang di Sudan sedang mencari rahasia apa sebenarnya dibalik Islam. Dengan fasilitas beasiswa tahfidh, aku bersama kawan-kawanku sekarang sedang menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari tanah para sufi, dan menyiarkan Islam di bumi Indonesia. Mama membaca suratku atau tidak, tidak banyak yang akan berubah, hanya persepsiku saja yang kini telah berubah. Tentang mama, tentang pesantren, maupun tentang “sebuah perbedaan”. Aku bukan lagi anak remaja cengeng yang selalu ingin diperhatikan, kini aku mahasiswi Sudan, kader perubahan dunia. Pondok pesantren menampung semua manusia dari latar belakang berbeda, dan semua disama-ratakan di sana. Santri hanya perlu tunduk pada aturan yang berlaku. Aku mulai menapaki kaki di tanah para kyai dengan keterpaksaan dan kesedihan, dan aku keluar dari tanah itu juga membawa kesedihan, namun ada satu hal yang bertambah, yaitu aku membawa kedewasaan dan bekal ilmu agama yang mumpuni. Mungkin takdir yang membawa untuk sampai ke tanah itu. Aku tidak pernah menyesal disantrikan, bahkan tidak iri karena Karina adikku tidak dipondokkan juga. Mama tau cara menyayangiku, hanya saja tidak mengungkapnya. “Rahmah, kamulah yang tercantik di hati mama!” kata mamaku di balasan suratnya. ***