CERPEN : HUJAN DI BULAN NOVEMBER
CERPEN : HUJAN DI BULAN NOVEMBER
ana-mk Karya : Ana Magfirotul Khasanah (11161040000085-FKIK-Mahasantri Mabna Syarifah Khadijah)   Hujan amat deras mengguyur kota bandung, tak menyisakan berkas berkas pengasihan kepada penduduk yang hendak beraktivitas. Rere yang menatap butiran-butiran hujan dari jendela kamarnya menjadi pilu, sembari mendengar berita di televisi yang membuat hatinya semakin pilu. “Telah terjadi kecelakaan bus yang menewaskan tiga puluh penumpang dan dua puluh lainnya luka-luka. Diduga kecelakaan ini disebabkan oleh hujan yang tak kunjung berhenti sejak pukul sembilan malam” “kecelakan lagi Re?” tanya wanita paruh baya yang baru saja masuk kekamar Rere dan mengecilkan volume TV. “entahlah nek.” Jawab Rere datar. Ia kembali menatap butiran butiran hujan yang menempel pada jendela kamarnya, Memperhatikan ketika mereka perlahan meluncur dari kaca jendela lalu jatuh ketanah. “sudah nenek siapkan mantel di meja tamu jangan lupa dibawa. Ini november, hujan akan terus turun.” Ucap nenek yang perlahan meninggalkan Rere sedirian di kamarnya. Rere menghela nafasnya, mulai menerka-nerka apa yang akan terjadi dibulan November tahun ini. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun silam. Ketika usianya menginjak delapan tahun, ketika tawanya begitu nyaring terdengar. Didalam sebuah mobil sedan putih bersama kedua orang tuanya. Saat itu sedang hujan, ya hujan. Hujan yang amat deras dijalanan ibu kota jakarta. Namun terlalu bahagianya Rere kecil, ia tidak sadar bahwa saat itu hujan. Yang ia tahu ia akan berlibur bersama kedua orang tuanya. Tanpa disadari, hujan yang semakin deras itu membuat jalanan licin dan menggelincirkan mobil yang tengah mereka kendarai. Kejadian yang takkan pernah ia lupakan, dimana Rere melihat darah mengalir deras ditubuh kedua orang tuanya. Rere amat mengingat bagaimana sang ibu memeluknya demi menyelamatkannya. Jika saat itu Rere bisa memilih, ia akan memilih pergi bersama kedua orang tuanya. Ia tidak ingin sendiri seperti saat ini. Hujan benar benar merampas harta yang paling berharga bagi Rere yaitu kedua orang tuanya. Tapi Tuhan masih menyayanginya, setelah kecelakaan itu, Rere di asuh oleh sang Nenek yang hidup sendirian dibandung. Sehingga Rere harus pindah sekolah dan melupakan setiap kenangannya baik manis maupun pahit dijakarta. “Re.... nanti telat sekolahnya” seru sang Nenek. Rere menghentikan kenangannya dan segera melangkah pergi dari sisi kamarnya. Memakai mantel dan berharap tak ada setitik air hujan dibulan november ini yang mengenainya. “Payung Kak.....” ujar seorang pemuda yang membuat Rere mendongak keatas. “kau tak lihat aku sedang memakai mantel..? kenapa masih menawariku payung ?” tanya Rere sinis. Ia segera meninggalkan pemuda yang menawarkan payung kepadanya. Sesampainya di sekolah, Rere segera melepaskan Mantelnya dan menaruhnya di teras kelas. Ia terlambat, ibu siska sudah masuk. Ia menengok jam tangannya. “oh my God, Jam setengah sembilan. Ini semua karena hujan” ucapnya. Rere memutuskan untuk tidak langsung masuk kedalam kelasnya, ia enggan menghadapi omelan ibu Siska yang pasti akan membuat telinganya panas. Rere berjalan menuju kantin memesan bakso dan segelas teh panas. “Neng Rere nggak masuk kelas” tanya ibu kantin “biasa bu... telat” jawab Rere. Ibu kantin hanya tersenyum. Ia amat hafal dengan kebiasaan pelanggan setianya ini, di setiap hujan November ia akan selalu terlambat. bahkan pernah hingga sebulan penuh Rere terlambat. Rere menikmati aroma tanah yang melebur bersama dinginnya hujan. Rere memandangi pagar depan sekolahnya. Jendela kantin memang sangat luas, ia bisa melihat jalanan raya depan sekolahnya sekaligus. Rere memperhatikan sosok pemuda yang berdiri memegang payung, menawarkan tiap-tiap pejalan kaki. Rere seperti pernah melihatnya, Ah.... pemuda yang menawarkan payung kepadanya sebelum ia berangkat kesekolah. “Menyebalkan” gumamnya. Setelah bel istirahat. Rere memutuskan kembali ke kelas dan berada didalamnya hingga bel pulang. Hari-hari menjadi membosankan ketika hujan bagi Rere. Hari inipun ia malas untuk menyimak pelajaran. Padahal sebentar lagi Rere akan mengikuti ujian semester ganjil ditahun ketiga. “Re....mau nebeng kita nggak ?” tanya Nia “ ia.. soalnya ini hujan deras banget. Sayangkan.. kalau loe jalan” timpal via “kalian duluan aja aku bawa mantel kok” jawab Rere “ok, duluan ya...” ucap Nia. Rere hanya tersenyum.... Rere menengok teras kelasnya, ia mencari-cari mantel yang seingatnya ditaruh didepan kelas. Rere bahkan memutari seisi kelas dan teras kelas. Bahkan tong sampah didepan kelas tak luput dari targetnya. “cari apa neng ?” tanya OB sekolah “Bapak lihat mantel warna kuning didepan kelas nggak pak  ?” tanya Rere “Nggak neng. Dari tadi nggak ada mantel didepan kelas. Bapak permisi dulu ya neng” “iya pak terima kasih” Rere begitu cemas, ia takkan pulang jika hujan tak mereda. Neneknya pasti akan sangat khawatir. Apalagi beliau tahu Rere sangat benci hujan dibulan November. “Payung kak...” tawar seorang pemuda. Rere menoleh kearahnya. “kamu lagi....”ujar Rere. Ia ingat betul pemuda ini, pemuda yang menawarinya payung pagi tadi, dan yang dilihatnya di depan gerbang sekolah. Pemuda itu hanya tersenyum “nama saya haikal kak” haikal menjulurkan tangannya. Rere enggan membalas. “karena kakak nggak bawa mantel makanya saya tawarin” lanjutnya. “jangan panggil saya kakak. saya yakin kamu lebih tua dariku.” Larang Rere. Haikal hanya tersenyum “Mari kak saya antar. “ “kamu menjual payung tapi kenapa nggak pakai payung...?” tanya Rere keheranan melihat pemuda yang telah basah kuyub disebelahnya sembari memegangi payung untuknya. “Karena saya suka hujan apalagi bulan November.” Rere mengerutkan dahinya. Mengapa haikal bisa memiliki antonim dari sisi dirinya. “Ayahku meninggal dibulan November saat bekerja sebagai kuli bangunan. Ibuku menjadi seorang janda. Ia menghabiskan sisa hidupnya untuk menghidupiku sebagai anak tunggal. Dan menutup usia di bulan November tiga tahun silam karena penyakit TBC. Aku menjadi anak yatim piatu, yang tinggal dirumah kecilku sendirian. Setelah setahun ibuku meninggal, aku dikeluarkan dari sekolah karena selalu terlambat membayar uang bulanan sekolah. Dari situ, aku memutuskan bekerja sebagai tukang sol sepatu, kemudian pedagang asongan, dan baru sehari ini menjadi ojek payung.” Haikal mengakhiri kisahnya dengan senyuman. Rere termenung medengar kisah itu, ia membayangkan betapa pedihnya menjadi seorang Haikal. Meski terkesan blak-blakkan dan sok kenal. Karena baru kenal sudah bercerita seperti ini. Rere jadi sadar bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami kemalangan. Masih banyak yang mengalami kemalangan lebih dari dirinya. “Lalu kenapa bisa kau menyukai hujan ?” tanya Rere. “Karena setiap pemakaman baik ayah dan ibuku, hujan selalu menemani. Aku berfikir bahwa langit ikut bersedih akan kematian keduanya. Langit pasti ikut bersedih bersamaku. Setidaknya aku merasa beban kesedihan ini takku tanggung sendiri” jawab Haikal Rere semakin terhanyut atas jawaban Haikal, sosok yang benar benar ikhlas atas setiap keputusan Tuhan. Sosok yang dapat menerimanya dengan kelapangan dada. Tidak seperti dirinya yang menghakimi Tuhan atas apa yang menimpanya. Sehingga ia amat membenci hujan yang jatuh dibulan November. Dan rasanya, ini adalah teguran Tuhan atasnya melalui Haikal. Melalui kisah-kisah Haikal yang baru beberapa menit lalu dikenalnya. Bahwa hujan tak selamanya membawa kebencian. Hanya saja, dari sudut pandang apa kamu memaknai hujan. “Haikal, besok sepulang sekolah. Tunjukan aku rasanya hujan dibulan November. Dingin seperti es kah.. atau justru panas melebihi api neraka.” Ajak Rere ditengah rintikan hujan.