Oleh : Habibi 11150220000004 FAH
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah melimpahkan cinta dan kasih kepada hamba-Nya, Sang Sutradara atas segala skenario makhluk di bumi-Nya. Yang tak henti-hentinya memberi kejutan kepada setiap insan yang Dikehendaki. Tatkala rasio dan akal tak dapat menjangkau pemikiran namun kekuasaan Allah hidup di atas semua itu, Allah Yang Maha Kuasa, yang memberikan sesuatu di luar nalar dan rasio manusia.
Mungkin itulah yang dapat saya gambarkan, atas segala kemurahan Allah selama ini. Saya anak desa yang alhamdulillah diberi kesempatan menimba ilmu di UIN Jakarta. Tak pernah saya bayangkan sama sekali saya bisa kuliah sampai disini. Anak petani yang serba kekurangan yang tak pantas kiranya punya impian untuk kuliah, karena saya sadar dengan penghasilan yang tak seberapa yang hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun Allah berkata lain, lulus dari SD saya bisa melanjutkan ke SMP. Setelah saya lulus SMP saya mulai bingung, mengingat biaya sekolah yag semakin mahal. Namun dengan segala ikhtiar saya akhirnya melanjutkan studi ke MAN Purworejo hingga sekarang sampai ke UIN Jakarta, sungguh suatu nikmat yang patut disyukuri dan bersemangat untuk memperjuangkan sampai lulus dengan predikat Cumlaude, Amiiinn…
Saat saya lulus SMP, saya sebenarnya sudah mulai malas untuk sekolah di Purworejo. Ada keinginan untuk tinggal bersama kakak di Boyolali dan melanjutkan SMA di sana. Namun kakak yang tinggal se-rumah berkata lain; apa nanti kata tetangga, dikira setelah bapak wafat sudah tidak bisa membiyayai sekolah di Purworejo. Maka demi kebaikan semua saya manut saja. Pertama saya diminta melanjutkan ke SMK di sebelah SMP ku dulu yaitu di SMK 7 Purworejo. Tapi entah mengapa saya kurang berminat dan lebih memilih untuk masuk SMA. Karena terlalu santai, saya mendaftar di hari-hari terakhir, yaitu hari Rabu tepatnya di SMAN 3 Purworejo. Namun dua hari berikutnya ternyata saya sudah berada di zona tidak aman, yaitu peringkat 3 terbawah dari peserta yang akan diterima. Walaupun masih ada harapan untuk bisa masuk, namun saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya sempat malas dan patah semangat, lalu akhirnya saya sholat istikhoroh, mohon petunjuk agar dipilihkan pada yang terbaik. Dan kakak pun menyarankan agar saya mendaftar di MAN Purworejo atau kalau tidak di SMA Muhammadiyah Purworejo. Sampai di MAN ternyata pendaftaran sudah ditutup, bahkan sudah pengumuman. Walaupun sempat kecewa tapi akhirnya ada angin segar bahwa MAN masih membuka pendaftaran gelombang ke 2, dengan murid yang akan di terima sekitar 12 orang. Seleksi itu di ikuti oleh 44 orang dan pada saat pengumuman, alhamdulillah, saya diposisi ke 3.
Masalah pun seakan tak pernah berhenti. Walaupun sekarang saya sudah resmi terdaftar sebagai siswa di MAN, tetapi saya mengalami kendala masalah transportasi. Karena keluarga kami tidak mempunyai motor, maka saya harus setiap hari naik angkutan. Angkutan yang melintasi desa saya hanya berjumlah 3 armada, dan pasti sudah penuh jika saya mau naik, baik di dalam maupun di atas, samping, bahkan belakang pun sudah penuh. Walaupun harus berdesak-desakan dan menantang maut, tapi saya masih bersyukur, karena masih bisa membayar untuk angkutan itu. Karena mulai capek, dan sering terlambat akhirnya saya memutuskan untuk naik angkot dari Pasar Soko yang berjarak 1 km. Saya harus jalan kaki dan pukul setengah enam saya harus sudah berangkat. Karena merasa lelah dan juga angkotnya sering tidak tepat waktu, maka akhirnya saya naik angkutan dari Bagelen. Dengan konsekuensi saya harus menempuh perjalanan dulu sekitar 2,5 km dengan menggunakan sepeda. Alhamdulillah walaupun merasa capek dan juga sepeda saya sering bermasalah, -mau berangkat harus mompa dulu, setelah pulang juga sudah kempes lagi-, maka sepeda saya tuntun sejauh 1 km dan baru menemukan bengkel. Pada akhirnya saya sudah tidak telat lagi, semua itu saya jalani selama 1 tahun. Walaupun berat tapi inilah perjuangan.
Memasuki kelas XI saya diminta untuk tinggal di rumah Bulik saya di Popongan, karena memang jaraknya yang agak dekat dan juga sekalian mengaji disana. Pada awalnya saya merasa betah, namun sempat terpikir untuk tinggal bersama teman-teman di Pesantren. Mungkin dulu keluarga saya berpikir seumpama kalau saya di Pesantren maka akan tambah lagi biayanya. Karena saya terus mendesak, akhirnya kelas XII saya dititipkan di PP Nurul Hidayah, Pangen. Walaupun saya tinggal di sana tidak sampai satu tahun, namun setidaknya saya belajar mandiri jauh dari keluaga.
Memasuki akhir kelas XII, saya bingung melihat teman-teman pergi ke ruang BP untuk mendaftar SMPTN maupun PTAIN. Apakah siswa seperti saya dapat melanjutkan kuliah? Rasanya bisa sampai MAN saja sudah berjuang setengah mati. Jikalau mau kerja rasanya saya belum sanggup, maka saya putuskan iseng-iseng mendaftar SNMPTN maupun PTAIN, itu juga seleksinya ketat, akankah saya bisa diterima. Pertama kali saya lihat pengumuman di SNMPTN saya gagal, tapi tidak apa mungkin belum rejekinya. Setelah itu saya berharap untuk yang PTAIN saya dapat lolos seleksi, karena jadwal pengumuman nya di ajukan saya semakin tidak sabar untuk menunggunya. Pengumuman secara online dibuka mulai pukul 07.00. Sebelum berangkat ke sekolah saya meminjam sepeda teman saya untuk pergi ke warnet -kalau tidak salah di dekat SMA N 1 Purworejo, Texas Net namanya-, saya langsung memasukkan nomor seleksi, dan setelah saya buka……., Alhamdulillah saya di terima di UIN Jakarta, saya pun langsung sujud syukur di warnet itu, dan mengabari orang di rumah.
Walaupun saya lolos di UIN Jakarta, tidak serta merta keluarga saya mendukung. Ya, pastilah soal biaya. Tahu sendiri di Jakarta mahal biaya hidupnya. Okelah di sana kalau kerja, tapi jika kuliah yang biaya hidup plus biaya kuliah masih meminta orang tua, pastilah sangat memberatkan ditambah standar gaya hidup di Jakarta. Sempat saya dinasehati; sudahlah kalau memang benar-benar mau kuliah cari yang dekat aja, atau kalau tidak seperti apa yang disarankan waktu perpisahan dulu, yaitu di IAIN Salatiga, karena menimbang biaya sekolah belum lunas dan belum lagi karena saya kelas 3 di Pesantren mengadakan Akhirussanah dimana biaya yang dikeluarkan oleh kelas 3 juga tidak sedikit. Saya pun mulai melupakan impianku untuk kuliah di UIN Jakarta. Akhirnya ada saudara yang menyarankan untuk sholat Istikhoroh meminta petunjuk kepada Allah, Sang Maha Pemberi Solusi dan semakin mendekatkan diri kepada – Nya.
Setelah 7 hari berturut-turut berpuasa dan melakukan sholat malam ditambah mengamalkan dzikir fidak, saya mantap tetap mengambil kuliah di UIN Jakarta. Saya browsing mengenai bagaimana suasana kampus di UIN itu, iya sih memang UIN Jakarta sudah level nasional bahkan sudah mulai dikenal di dunia Internasional dengan menjadi World Class University, akankah di sana nanti saya jadi minder. Tapi saya harus yakin dan terus berjuang.
Yang menjadi pertimbangan disana tentunya, tempat tinggal, biaya kuliah dan uang saku sehari-hari. Pertama saya browsing mengenai tempat tinggal di sana. Walaupaun saya sempat mendapat kabar bahwa ada asrama gratis untuk mahasiswa yang kurang mampu, namun berita itu masih belum jelas. Maka dari itu saya pasang status di Facebook melalui grup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang benar tidaknya ada asrama gratis untuk mahasiswa yang kurang mampu. Kebetulan status saya ada yang komen dari Jurusan SKI semester 7, beliau bernama M. Syauqi Hadzami memberitakan bahwa di situ ada aula milik HMI yang bisa ditempati secara gratis. Alhamdulillah, berarti mengenai tempat tinggal aman, dan beliau pun memberikan nomor handphone agar bisa komunikasi lebih baik, karena beliau masih KKN di Bogor.
Tibalah waktunya saya daftar ulang. Untungnya kakak saya yang ada di Cilacap mau mengantar saya ke Jakarta karena pastinya beliau paham saya belum banyak mengenal mengenai seluk beluk Jakarta. Suasana Ramadhan mengiringi pejalanku dari Cilacap menuju kota Metropolitan yang mungkin akan menjadi kota perjuangan bagiku untuk bisa mereguk ilmu demi sebuah cita-cita yang tersemat dalam diriku. Udara panas bulan puasa tak menghentikan saya melalaikan ibadah puasa di perjalanan. Walaupun tadinya kakak saya menyangka bahwa saat daftar ulang tidak akan membayar, akan tetapi alhamdulilah, kakak saya masih mempunyai uang untuk membayarkannya. Setelah semua selesai saya di suruh tanya tentang adanya asrama gratis untuk mahasiswa yang kurang mampu, namun ternyata tidak, biaya asrama di situ dua juta per tahun, saya pun sempat kecewa, dan kulihat raut muka wajah kakakku yang juga kecewa ditambah capek seharian keliling kampus, saya juga sebenarnya kasihan karena telah banyak merepotkan beliau, ya mau bagaimana lagi. Semoga Allah memeberikan jalan keluar.
Setelah hampir seminggu di Jakarta saya pun pulang ke Cilacap dulu, setelah istirahat sejenak di sana akhirnya saya pulang lagi ke Purworejo, ada banyak hal yang harus saya persiapkan tentunya mengenai syarat – syarat beasiswa, saya banyak bersyukur karena di Jakarta ada banyak temannya Mas Teguh, kakak saya yang tinggal di Jakarta sehingga kalau saya lagi ada waktu kosong dapat main ke rumah beliau, dan juga ada teman nya Mas Teguh namamnya Mas Subhan mempunyai relasi lembaga mana yang dapat memberikan beasiswa dan juga Mas Teguh mengirimkan lampiran beasiswa untuk dapat memberikan dana kepada sejumlah lembaga di Purworejo, walaupun sampai sekarang hasil nya tidak jelas.
Akhirnya berbekal syarat bidik misi tahun lalu, saya berusaha melengkapi persyaratan beasiswa itu dengan harapan pastilah persyaratan nya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu, Karena informasi yang tidak begitu jelas, ada informasi dari Dompet Dhuafa yang memberikan beasiswa, saya pun tertarik mengikutinya,tapi sayang saya tidak lolos, saya pun hanya bisa menghela napas panjang akankah saya tetap bisa melanjutkan studi di kampus UIN ini ?
Memang kesuksesan tak kan bisa di raih dengan hanya berpangku tangan, saya pun kesana – kemari mencari informasi tentang beasiswa Bidik misi, akhirnya pendaftaran nya pun dibuka, mulai pendaftaran online, seleksi pemberkasan, psikotest, dan terakhir wawancara. Sembari menunggu hasil pengumuman saya pun banyak berdoa, saya sempat juga bilang ke Sekjur, bahwa saya sangat berharap mendapatkan beasiswa itu, akhirnya dengan segala perjuangan beasiswa itu dapat saya raih, seluruh pendaftar berjumlah 600 – an orang dan yang lolos seleksi 160 orang, saya pun banyak – banyak mengucapkan syukur, karena kerja kerasku terbayar sudah, rincian anggaran pendapatan yaitu 6 juta untuk setiap semester dan dikurangi biaya semesteran dan untuk semester 1 dan 2 dikurangi lagi untuk biaya Pembinaan di Ma’had selama 1 tahun.
Memang roda perjalanan hidup seseorang bagaikan sebuah misteri, tak seorang pun dapat menebak atau mengira, begitupun juga dengan saya kadang sempat tidak menyangka saja dapat kuliah di tempat yang agak jauh yaitu di Jakarta, apalagi di kampus Islam yang cukup di perhitungkan di Indonesia, sekelas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terbayang dahulu jika pulang sekolah kesorean, pasti merasa ketar – ketir akankah masih dapat angkot, enak kalau ada teman yang juga sama – sama ketinggalan angkot akan tetapi sering nya saya sendirian dan terpaksa ojek dari pusat kota ke desa saya dengan membayar 15 ribu rupiah, kasihan juga dengan ibu saya yang penghasilannya pas – pasan, maka dari itu saya sering pulang ke rumah naik angkot jurusan Bagelen walaupun harus jalan kaki lebih dari 2 km, tetapi paling tidak meringankan beban orang tua.
Hidup harus kita maknai sebagai perjuangan, Hidup adalah suatu misi yang besar, dan untuk mencapai semua itu pastinya butuh perjuangan, badan yang digunakan untuk berjuang suatu saat akan rusak dan badan yang hanya digunakan untuk bermalas – malasan juga akan rusak, sehingga manusia yang mempunyai keinginan yang besar akan terus mengejar cita – cita dan impian nya dengan dibarengi kemauan dan tekad yang kuat dan tak lupa semakin mendekatkan diri kepada – Nya. Jangan pernah berputus asa, lakukan apa yang kau bisa selagi masih ada kekuatan untuk berusaha. jangan ada kata kata malas. Jikalau kita sudah bersungguh – sungguh mengerjakanya, serahkan hasilnya kepada Allah, dengan keyakinan Allah akan memberikan kita jalan yag terbaik.
Menjadi diri sendiri adalah cara sederhana untuk bisa bahagia, terkadang kita terlalu melirik apa yang menjadi kepunyaan teman kita, kita bergaya seperti gaya teman – teman kita padahal itu sangat memberatkan kita, dengan begitu apakah kita tetap bahagia? tentunya tidak, maka dari menikmati dan mensyukuri apa yang telah kita punyai adalah cara sederhana untuk bisa hidup tenteram dan damai. Bayangkan apabila saya mengaku orang kaya, pastinya akan memberatkan saya dan pasti sulit untuk mendapatkan beasiswa, dan yang pasti hidup seperti tidak bebas seperti di bawah tekanan orang lain.
Memang sebuah pencapaian tidak akan didapat secara instan, membutuhkan proses yang kadang melelahkan, disitulah sebenarnya kita sedang diuji, apakah kita pantas mendapatkan semua itu? kesabaran, mutlak di perlukan dalam proses ini. Dalam proses ini terkadang kita karena merasa tidak kuat akhirnya menyerah, padahal ia sudah dekat dengan pintu pencapaian. Ingatlah, orang yang paling merugi adalah orang yang tersesat dalam akhir perjalanannya.
Restu dari orang tua dan guru kita dahulu, juga merupakan pintu gerbang keberkahan, jangan sungkan – sungkan meminta pendapat mereka, indahkan nasihat dari mereka,dan jangan lupa minta doa untuk kebaikan kita semuanya.
Akhir dari semua itu adalah dibutuhkan sebuah tekad dan konsistensi kesungguhan untuk dapat mencapai suatu kesuksesan, saya yang anak petani, motor pun tak punya, penghasilan buat makan saja terkadang kesulitan, namun atas izin Allah saya dapat melalui ini semua, dengan harapan saya akan sukses dimasa mendatang. Prinsip harus tetap saya jaga, jangan tergoda dulu dengan dengan lawan jenis dengan keyakinan “ Kerja keras dan pengorbananmu selama 4 tahunan ini akan berbuah manis selamanya”
Ciputat, 26 Februari 2016 ( Pukul 21.19 )